PERLUKAH WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA
MEMILIKI RUMAH DENGAN SEKALIGUS MEMILIKI TANAH
Oleh: Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum.[1]
ABSTRAK
Warga Negara Asing di Indonesia yang
keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi
di Indonesia diberi kesempatan memiliki
tempat tinggal atau hunian. Bila yang dibutuhkan Warga Negara Asing rumah untuk
tempat tinggal tidak perlu harus membeli tanah. Warga Negara Asing yang
membutuhkan rumah untuk tempat
tinggal dengan cara sekaligus membeli
tanah dari Warga Negara Indonesia akan
menjadikan hak kepemilikan atas tanah
Warga Negara Indonesia tereliminasi.
A.
Beda Kepemilikan Tanah dan Hak Atas Tanah.
Teori hak kepemilikan atas tanah (jus propietatis) dibedakan dengan hak
milik mutlak dan sempurna (domain).
Hak kepemilikan hanya satu yaitu hak milik (domain)
yang sempurna dan mutlak dalam memiliki tanah sebagai harta kekayaan (jus propietatis). Hak milik (domain) dalam teori hukum Romawi, lahir
berdasarkan suatu proses pertumbuhan yang dimulai dari pendudukan dan
penguasaan nyata (occupare de facto) untuk sampai pada pengakuan hukum (de yure) Negara melalui keputusan (decisio) pemerintah. Pada awal
penguasaan ‘de facto’ orang diakui
memiliki hak kepunyaan (jus possessionis),
setelah berjalannya waktu cukup lama tanpa sengketa dan mendapat pengakuan
hukum yang lebih kuat sehingga haknya disebut ‘jus possidendi’. Setelah diperoleh pengakuan sah dari pemerintah
dengan suatu keputusan menjadi memiliki kekuatan hukum ‘de jure’ sehingga disebut dengan hak miik (domain) sebagai hak pribadi atau privat yang tertinggi, sempurna,
dan mutlak.[2]
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 (UUPA) di Indonesia seseorang yang
sudah menguasai menggunakan dan memanfaatkan tanah secara nyata ‘de facto’ setelah
berjalannya waktu cukup lama sampai
turun temurun tanpa sengketa akan diakui memiliki hak kepunyaan (jus possesionis) dan mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat dari
masyarakat atau lahirlah hak kepemilikan atas tanah tersebut. Setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA) hak kepemilikan tanah masyarakat tersebut oleh Pemerintah[3]
dapat diakui sebagai tanah adat atau bukan tanah adat. Bila diakui Pemerintah sebagai tanah adat
maka hak kepemilikan tanah perorangan tersebut sudah dilekati hak atas tanah
Hak Milik yang dimaksud Pasal 16 ayat 1 huruf a UUPA atau hak kepemilikan tanah sudah menyatu
dengan hak atas tanah.
Apabila Pemerintah
tidak mengakui sebagai tanah adat maka kepemilikan atas tanah tersebut (jus possessionis) belum dilekati hak
atas tanah atau sering disebut sebagai “tanah Negara”. Penguasa atau pemilik
tanah tersebut untuk tanahnya dapat
dilekati hak atas tanah harus mengajukan kepada pemerintah permohonan hak atas
tanah. Hak atas tanah yang dimohon baru lahir dan melekat atau menyatu dengan
kepemilikan tanahnya pada saat Buku Tanah di tanda tangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan.
Apabila seseorang
tidak dapat atau dianggap tidak dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah[4]
tersebut atau terbukti tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut[5]
maka hak atas tanah Hak Milik ini akan hapus. Hapusnya hak atas tanah tidak
serta merta menghapus hak kepemilikan tanah. Sebagai contoh seorang petani
yang memiliki tanah pertanian di Jember dan
mempunyai anak tunggal yang tinggalnya di Malang, bila petani tersebut
meninggal maka hak kepemilikan tanah pertanian sejak petani tersebut meninggal
secara langsung terang tunai beralih ke anaknya yang di Malang. Karena anaknya
yang di Malang oleh undang-undang tidak dapat memiliki tanah pertanian[6]
maka undang-undang memberi kesempatan dalam waktu satu tahun kepada anak
tersebut untuk menjual tanahnya ke petani setempat. Kurun waktu satu menjualnya
masih di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Apabila lewat satu tahun
tanah pertanian tersebut belum dijual maka hak atas tanah karena undang undang
menjadi hapus. Tanah tersebut dapat menjadi objek land reform, apabila tanah menjadi objek landreform maka anak
tersebut akan mendapat ganti rugi dari pemerintah, yang diberi ganti rugi
adalah hak kepemilikan tanahnya yang dalam hal ini hak atas tanahnya sudah
hapus. Apabila tanah tersebut tidak menjadi objek landreform maka anak petani
tersebut masih dapat menjual tanah tersebut walaupun hak atas tanahnya telah
hapus,[7]
yang dijual adalah hak kepemilikan atas tanah tersebut atau dapat disebut
dengan hak keperdataan, oleh karena itu menjualnya bukan di hadapan PPAT tetapi
di hadapan Notaris atau Kepala Kantor Pertanahan atau Camat.
Dari contoh uraian
di atas dapat diambil pengertian bahwa hak kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah. Hak atas
tanah dapat diambil pengertian merupakan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan
tanah bukan hak kepemilikan tanah, karena
hak atas tanah akan hapus bila tanah tidak dapat dimanfaatkan sesuai
tujuan pemberian hak atas tanahnya. Orang memiliki rumah dengan hak atas tanah
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai bila HGB atau Hak Pakainya nya habis masa
berlakunya bukan berarti kepemilikan atas tanahnya juga hapus, banyak yang berpendapat bahwa yang dimiliki hanya tinggal rumahnya. Pasal
40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dalam penjelasannya
mengakui adanya hak kepemilikan tanah
ini, artinya bila hak atas tanah HGB atau Hak Pakai masa berlakunya habis, maka
bekas pemegang hak atas tanah ini yang memperoleh ganti kerugian.
B.
Hak Atas Tanah Hak Pakai
Bagi Warga Negara Asing.
Hak atas tanah Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung Negara atau tanah
milik orang lain.[8] Pasal 42
huruf b UUPA mengatur Warga Negara Asing
(WNA) dapat memiliki tanah dengan hak atas tanah Hak Pakai.
Dari Pasal 41 ayat (1)
UUPA dan Pasal 42 huruf b UUPA maka WNA
dapat memperoleh hak atas tanah Hak Pakai dari:
1) tanah yang dikuasai
Negara dan
2) tanah milik orang lain.
Hak Pakai di atas tanah yang dikuasai Negara (angka 1)) atau dikenal dengan Hak Pakai
di atas Tanah Negara, terjadi melalui:
a)
permohonan hak atas tanah hak pakai oleh WNA asing
tersebut dengan alas hak berupa
bukti
tertulis perolehan tanah. Perolehan
tanah tersebut sudah tentu dengan cara membeli tanah yang status tanahnya Tanah
Negara atau tanah yang dilekati hak atas
tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau sebagian Hak Guna Usaha melalui melalui
pelepasan hak atas tanah dan hak kepemilikan di hadapan Notaris atau Kepala
Kantor Pertanahan.
b) Jual beli di hadapan PPAT terhadap tanah yang sertipikatnya sudah Hak Pakai di atas Tanah Negara dari tanah dengan hak atas tanah Hak Milik yang telah dirubah menjadi Hak Pakai.
b) Jual beli di hadapan PPAT terhadap tanah yang sertipikatnya sudah Hak Pakai di atas Tanah Negara dari tanah dengan hak atas tanah Hak Milik yang telah dirubah menjadi Hak Pakai.
Perbuatan hukum WNA pada
huruf a) dan b) di atas telah mengambil
alih hak kepemilikan dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan tanahnya menjadi
milik WNA hanya hak atas tanah yang melekat adalah Hak
Pakai.
Hak Pakai atas tanah
milik orang lain (angka 2) terjadi
dari perjanjian pemberian hak atas tanah antara WNA dengan WNI yang memiliki tanah hak atas tanah Hak
Milik melalui Akta PPAT, perbuatan hukum WNA di perjanjian ini tidak mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
Perkembangan selanjutnya hak atas tanah Hak Pakai dapat lahir di atas Hak
Pengelolaan (HPL)[9],
pemegang Hak Pengelolaan adalah pemilik tanah. Pemegang Hak Pengelolaan
dibatasi hanya untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Otorita. Hak
Pengelolaan merupakan hak atas tanah yang dapat difungsikan sebagai bank tanah
guna pengendali penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mencegah spekulan tanah.
WNA yang membangun rumah di atas Hak Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak
Pakai di atas HPL lebih memenuhi rasa keadilan atau sesuai dengan visi Reforma
Agraria. WNA hanya membutuhkan rumah
untuk hunian tidak harus dengan memiliki tanah, seharusnya Pemerintah
memperhatikan pasal 33 UUD 1945 melindungi rakyatnya dengan tidak memberi
kesempatan WNA asing membangun rumah hunian dengan mengambil alih kepemilikan
WNI. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih
memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah
WNI seperti diatur Pasal 4 sebagai berikut:
Pasal 4
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat
dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
merupakan:
a. Rumah Tunggal di atas tanah:
1. Hak Pakai; atau
2. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai
berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai.
Pasal 4 huruf a angka 1 menyatakan Rumah
Tunggal[10] dibangun di atas tanah
Hak Pakai, di sini Hak Pakai di atas Tanah Negara artinya WNA menjadi pemilik
tanah tersebut. Pasal 4 huruf a angka 2
Rumah dibangun oleh WNA di atas Hak Pakai atas Hak Milik WNI. WNA di
sini memiliki hak atas tanah yang tidak memiliki tanah.[11] Pasal 4 huruf a ini tidak
mengatur bahwa Rumah hunian WNA dapat dibangun di atas tanah
Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan sebagaimana diatur Pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
WNA mempunyai rumah dengan hak atas tanah Hak
Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak Pakai di atas HPL lebih mewujudkan rasa
keadilan masyarakat mengingat Indonesia bukan Negara Kapitalis. WNA hanya butuh
memperoleh hak atas tanah untuk membangun rumah, membangun rumah tidak harus
dengan mengambil alih kepemilikan tanah. Kenapa WNA untuk mempunyai rumah tidak
dibatasi dengan Hak Pakai atas Hak Milik atau di atas HPL saja?. Menjadi
pertanyaan, kemana arah Politik Pertanahan Pemerintah kita ke arah kapitalis
atau sosialis?
Masyarakat Bali dapat dijadikan contoh,
mereka tidak mau menjual tanahnya ke WNA.
WNA untuk membangun rumah harus melakukan perjanjian pemberian Hak Pakai
dengan pemilik tanah sehingga lahir Hak Pakai atas Hak Milik.
C.
Pemahaman Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan Hak
Atas Tanah
Hak
Milik.
Pemahaman pengertian tentang Hak
Milik sebagai hak atas tanah yang diatur UUPA dengan pemahaman pengertian Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang diatur Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun, masih belum dipahami oleh beberapa pihak. Kata ”Hak Milik
” dalam Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun jangan dimaknai sepenuhnya sama dengan Hak Milik yang
dimaksud hak atas tanah menurut UUPA. WNA dapat memiliki Rumah Susun[12] dengan yang tanda bukti
pemilikannya adalah Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan syarat
Rumah Susun tersebut di bangun di atas tanah bersama Hak Pakai atau Hak Pakai
di atas Hak Pengelolaan[13]. Pasal 17 Undang – undang
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur sebagai berikut:
Pasal 17
Rumah
susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak
milik;
b. hak
guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak
pengelolaan
Beberapa pasal di Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia ada pasal
subtansinya tidak jelas atau kabur antara lain pasal sebagai berikut:
Pasal 6 angka 2 menyatakan: “Sarusun yang
dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh
Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun
kepada Orang Asing yang bersangkutan”.
Timbul pertanyaan apakah salah menurut
undang-undang kalau WNA yang membeli
apartemen yang tanah bersamanya dibangun di atas hak atas tanah hak pakai
tanda bukti pemilikannya Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun sehingga harus dirubah menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah
Susun? Sebaliknya apabila apartemen di
bangun diatas tanah bersama Hak Guna Bangunan apakah apartemen tersebut dapat
dibeli oleh WNA?
Apartemen yang dibangun di atas tanah bersama
HGB tidak dapat dibeli oleh WNA. Apartemen tersebut hanya dapat dibeli oleh WNA apabila tanah
bersama dibangunnya apartemen tersebut dirubah menjadi Hak Pakai, sedang pemilikan rumah susun tetap dengan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, tidak perlu dirubah menjadi Hak Pakai Atas
Satuan Rumah Susun.
D.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
a. Hak Kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas
tanah, hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah.
b. Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih memberi kesempatan WNA
membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
c. Ditemukan subtansi yang tidak jelas dalam
pasal 6 ayat 2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
2.
Saran
a. Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia perlu direvisi sehingga tidak memberi
kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI, WNA
untuk membangun rumah cukup dengan hak atas tanah Hak Pakai atas Hak Milik atau
dengan hak atas tanah Hak Pakai di atas HPL.
b. Perlu revisi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
DAFTAR
BACAAN
1)
Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum
Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012,
2)
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
3)
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Rumah
Susun
4)
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah
5)
Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
6)
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Yogyakarta, 24 Nopember 2016
Tjahjo Arianto
[1]
Dosen Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional; Dosen Magister Teknik Geodesi/Geomatika Universitas
Gadjah Mada; Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta; mantan
Kasi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kab. Jember, Kab. Sidoarjo, Jakarta Timur
tahun 1989 – 1999; Kasi Tata Pendaftaran Tanah BPN Pusat tahun 1999 – 2001;
Kepala Kantor Pertanahan Kab. Jember, Kabupaten Gresik, Surabaya Timur tahun
2001 – 2009; Kepala Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN Provinsi Jawa
Timur Tahun 2008 – 2010.
[2]
Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum
Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012, halaman 16-17.
[3]
Pemerintah di sini diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional
[4]
Menjadi tanah absente karena pemilik
tanah dianggap tidak mungkin menggunakan dan memanfaatkan tanah maka
hapuslah ha katas tanah tersebut.
[5]
Menjadi tanah terlantar, karena pemilik tanah terbukti tidak mampu memanfaatkan tanah.
[6]
Karena dianggap tidak mungkin memanfaatkan tanah pertanian.
[7]
Hak atas tanah hapus tetapi hapusnya ha katas tanah tersebut belum dicatat pada
Buku Tanah dan Sertipikatnya.
[8]
Pasal 41 ayat (1) UUPA.
[9]
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah
[10] Rumah
Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding
bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling (Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau
Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia).
[11]
Asas Pemisahan Horisontal.
[12]
Bahasa populernya Apartemen atau Strata
title
[13]
Pasal 17 huruf a dan huruf b.
Saya setuju dan mendukung penuh terhadap artikel yang bapak paparkan.
BalasHapus1. Bahwasanya terdapat perbedaan antara kepemilikan tanah dan hak atas tanah. Dimana hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah. Sedangkan kepemilikan tanah menyangkut hak keperdataan yang melekat pada seseorang dengan objek (bidang Tanahnya). Comtohnya: Hak atas tanah HGB atau HGU yang ditelantarkan. Ditelantarkannya tanah tersebut dapat menjadi dasar hapusnya hak atas tanah yang dimiliki seseorang tetapi kepemilikan tanahnya masih melekat meskipun HAT nya telah hapus.
2. Dalam konteks kepemilikan WNA, maka dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI. Tetapi WNA tersebut hanya dapat diberikan HAT dalam bentuk Hak Pakai. Hal ini dikerenakan Indonesia menganut prinsip nasionalitas, dimana pada pasal 9 ayat 1 UUPA dinyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, kedudukan UUPA lebih tinggi dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 sehingga materi dari PP tersebut seharusnya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).
3. Mengenai pemahaman Hak Milik atas satuan rumah susun dengan HAT (Hak Milik). Menurut saya, Hak Milik atas satuan rumah susun tidak boleh dipersamakan dengan hak milik dalam hak atas tanah. WNA dapat memiliki Rumah Susun dengan yang tanda bukti pemilikannya adalah Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan syarat Rumah Susun tersebut di bangun di atas tanah bersama Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan. Hal tersebut berbeda dengan pemberian hak milik kepada WNA dalam bentuk HAT misalnya terhadap bidang tanah tertentu. Selain itu, ditemukan subtansi yang tidak jelas dalam pasal 6 ayat 2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Nama : Yuni Primawati
Semester : IV
Kelas : A
NIM : 15242900
Sangat setuju dengan tulisan Bapak..,pemahaman saya menjadi terbuka stelah membaca tulisan Bapak mengenai konsep hak milik /hak kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah..,
BalasHapusbahwa hak kepemilikam atas tanah warga negara Indonesia.harus di lindungi dan tidak.mudah dilepaskan begitu saja kpd asing ataupun kepentingan lain.yang dapat merugikan rakyat..,
M.Mahirda Ariwibowo
Kelas B/Smt IV
NIM 15242918
Tulisan ini menarik untuk dipahami bersama dan didalami dalam konteks perlindungan terhadap sumber daya di Indonesia dan pemilikan oleh warga negara Indonesia untuk memiliki tanah di Bumi Nusantara ini. Alasannya
BalasHapus1. Kepemilikan tanah ≠ hak atas tanah.
Sehingga dalam kaitannya dengan hak orang asing untuk mendapatkan tanah di Bumi Nusantara dibatasi pada hak untuk benda di atasnya. BUKAN pada bumi nya.
2. Kepemilikan oleh Warga Negara Asing setelah keluarnya PP 103/2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia memberikan gambaran bahwa Negara mengedepankan persamaan dalam kedudukan warganya. WNA dalam konteks ini dapat meMILIKi aspek keruangan di Bumi Nusantara dan dapat mengelola sesuai kebutuhannya. Sementara hak yang terkandung di Bumi Nusantara tetap menjadi milik penduduk Pribumi Nusantara sebagaimana pasal 9 (1) UUPA "hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah".
Setelah membaca ini tentunya bagi saya yang menempatkan diri di kalangan umumnya mendapat pencerahan. Namun masih terganjal oleh sebuah asumsi pertanyaan. Bagaimana dengan pengelolaan tanah oleh perusahaan yang notabene milik asing yang dapat mengeelola selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun/25 tahun? Dikemanakan warga pribumi setempat terhadap tanah yang dikelola oleh perusahaan tersebut yang mana kita tahu dalam kurun 50 tahun batas manusia tentu banyak pergolakan dan kebutuhan. Bagaimana kontrol kita kepada Perusahaan akan terlaksana perjanjian antara pihak Perusahaan dengan warga Pribumi?
Atas perhatian dan kesempatan komentar nya saya ucapkan Terima Kasih.
Nama : ANNIS NARYANA
Semester : IV
Kelas : B
NIM : 15242903
Yang berkuasa dan bermodal besar yang menang, masyarakat pribumi terpinggirkan, kesenjangan sosial meningkat karena semakin jauhnya jarak perekonomian kelas atas dan kelas bawah, Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya akan menjadi simbol Negara karena isi dari simbol itu hanya sebuah perpecahan.
BalasHapusNama : Fariz Wahyu A
Semester IV Kelas B DIPLOMA IV Pertanahan Tahun 2017
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya sebagai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI memperoleh pemahaman yang lebih terkait dengan kepemilikan tanah ternyata berbeda dengan Hak Atas Tanah,nantinya akan saya sampaikan juga hal ini kepada rekan2 saya yang ada dikantor pertanahan agar paham mengenai konsep dasar ini.
BalasHapusMemang menjadi sangat miris ketika peraturan perundangan yg dibuat oleh para wakil rakyat kita yg ada di DPR justru malah menguntungkan Warga Negara Asing seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Saya sangat setuju jika peraturan tersebut bisa direvisi agar Hak Warga Negara Indonesia untuk bisa memiliki tanah tidak tertanggu oleh Warga Negara Asing yg mempunyai modal lebih banyak.
Nama : ENGGAR PRASETYO AJI
Kelas / smt : A / IV
NIM : 15242882
DIPLOMA IV PERTANAHAN
Sebelumnya saya berterimakasih sekali atas ilmu yg telah dibagikan kpd kami.
BalasHapusMohon petunjuk pak.
Saya sempat membaca sebuah kasus, dimana seorang WNA berinvestasi sebesar 115jt ke WNI , oleh WNI tersebut dibelikan tanah sejumlah 3 bidang dng status hak milik dan dilakukan balik nama ke si WNI berdasarkan akta jual beli yg dibuat dihadapan notaris.
Dikarenakan itikad baik dr WNI maka seluruh sertipat HM trmasuk akta jualbeli diserahkan kpd si WNA serta WNI membuatkan surat kuasa menjual yg menyatakan memberikan kuasa mutlak kpd WNA untuk menjual tanah2 tersebut dihadapan notaris.
Yg ingin saya tanyakan pak,
Bagaimanakah bisa seorang notaris membuatkan surat kuasa menjual kepada WNA atas tanah tsb? Apakah yg menjadi dasar notaris tsb membuat surat kuasa menjual tanah hak milik tsb pak?
Indyah ayu sekar putih
Semester IV/ Kelas A
15242887
Assalamuallaikum wr.wb...
BalasHapusSaya sangat setuju dengan pendapat bapak dan saya memperoleh pemahaman bahwa kepemilikan atas tanah itu berbeda dengan hak atas tanah, sangat memprihatinkan ketika peraturan yang dibuat Malah menguntungkan warga negara asing, seakan penjajahan kembali bagi bangsa Indonesia, saya juga sangat setuju jika peraturan pemerintah Tersebut diperbaiki, sehingga hak-hak warga negara Indonesia tidak terintimidasi oleh para warga negara asing....
Nama : Utami Anggraini
NIM : 15242899
KELAS : A
SEMESTER : IV
Assalamu'alaikum pak....
BalasHapusIjin menyimak Bapak Dr., Ir., TJAHJO ARIANTO., SH., M.Hum. Dari pemikiran bapak tentunya dapat sangat membantu kami dan
dapat menambah wawasan kami sebagai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI.
Banyak yang tidak paham terkait Kepemilikan Tanah dan Hak Atas Tanah, dan didalam tulisan bapak ini memberikan pencerahan baru yang ternyata keduanya sangat berbeda. Hak Kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah, hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah. Hak Atas Tanah melekat pada Hak Kepemilikan. Sehingga lahirnya kepemilikan tanah berbeda dengan lahirnya hak atas tanah.
Yang menjadi dilema sekarang ini mengapa warga negara asing bisa memiliki hak atas tanah, padahal dalam UUPA diatur mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Larangan tersebut diatur dalam pasal 21 UUPA. Sesuai dengan asas nasionalisme yaitu “hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan”.Dan alangkah baiknya jika Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia direvisi kembali.
Nama : Pertiwi Liliyani
DIV Kelas B Semester IV NIM. 15242923
Selamat sore Bapak, sebelumnya saya sangat berterima kasih atas ilmu yang diberikan, dan tulisan ini sangat menarik sekali bagi saya karena ditempat saya bertugas khususnya di kabupaten manggarai barat, Labuan Bajo (Pulau Komodo) banyak sekali turis atau WNA yang sengaja menikahi warga pribumi untuk bisa mendapatkan tanah dan dikelola untuk kepentingan perekonomian seperti rumah makan, kafe dll. Bagaimana menurut bapak terkait hal tersebut apakah diperboleh kan dan perlu digaris bawahi bahwa pernikahan mereka tidak terdaftar secara resmi hanya pernikahan dibawah tangan.
BalasHapusNama : Vironicha Agustina
NIM : 15242926
Kelas: B
SMT : IV
Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah membuat aturan agar orang asing bisa memiliki rumah atau tempat tinggal di Indonesia. Aturan kepemilikan hunian bagi orang asing dikeluarkan untuk mendorong iklim investasi di Indonesia. Padahal orang Indonesia sendiri masih banyak yang tidak punya tempat tinggal. WNA sanggup menyewa, bahkan membeli aset properti dengan harga mahal dengan difasilitasi aturan oleh pemerintah. Namun, petani dan masyarakat tak memiliki tanah. Sungguh sangat menyahat hati melihat kenyataan ini.
BalasHapusterimakasih
FESTI KURNIAWATI
15242883
DIV SEMESTER IV KELAS A
Semakin terbatasnya ketersediaan tanah yang ada di Indonesia seharusnya membuat pemikiran kita terbuka bahwa kebutuhan tanah untuk kita saja dapat dikatakan "kurang", bagaimana mungkin warga negara asing yang notabene hanya "tamu" dan "numpang" saja dapat memiliki tanah.
BalasHapusjika dilihat dari segi kesanggupan warga negara asing tersebut untuk memperoleh rumah dan tanah, maka dapat dikatakan mereka lebih sanggup daripada masyarakat pribumi, namun seharusnya warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia diberikan kewenanga hanya sebatas menyewa atau meminjam dengan jangka waktu tertentu dan bukan memiliki.
Terima Kasih.
Bambang Sugianto
15242904
Kelas B
DIV Smester IV
Assalamualaikum Wr Wb... Sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih atas pemahaman yang diberikan lewat tulisan bapak ini. Pertama mengenai Hak Kepemilikan itu berbeda dengan hak Atas Tanah. Hak Atas Tanah melekat pada Hak Kepemilikan dan Hak Atas Tanah itu sendiri merupakan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut.
BalasHapusKedua, mengenai Warga Negara Asing yang memiliki hunian dan sekaligus hak atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 103 Tahun 2015 yang diberlakukan pada tangga 28 Desember 2015. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud merupakan adalah rumah tinggal yang salah satunya di atas tanah Hak Pakai yang status tanahnya bisa berasal dari Tanah Negara. Menurut PP ini, rumah tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. Secara implisit PP ini memberi kesempatan kepada Orang Asing untuk mengambil Hak Kepemilikan dari Warga Negara Indonesia, yang berarti tanahnya menjadi milik Warga Negara Asing dengan hak atas tanah yang melekat pada Hak kepemilikan tersebut berupa Hak Pakai. Secara prinsip PP ini menabrak UUPA No 5 Tahun 1960 (terutama Pasal 21 yang merupakan cerminan dari asas nasionalitas) juga menyalahi tata perundangan di Indonesia yaitu semangat UUD 1945 Pasal 33 dan Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Untuk itu saya setuju jika dilakukan peninjauan kembali terhadap PP No. 103 Tahun 2015.
Nama : Pitasari
NIM : 15242896
Kelas : A
Semester : IV
Kebijakan Pemerintah melalui PP 103 tahun 2015 dalam bagian Penjelasan disebutkan diambil Pemerintah dalam rangka mendukung pembangunan yang semakin giat bekerjasama dengan negara-negara sahabat, dan meningkatnya jumlah Orang Asing yang bekerja dan menjalankan usahanya di Indonesia. Hal tersebut di atas menyebabkan meningkatnya permintaan kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian bagi Orang Asing, yang kemudian Pemerintah beranggapan bahwa perlu dibuat kebijakan yang memberikan kepastian hukum serta kemudahan dalam pemberian pelayanan maupun izin memperoleh hak atas tanah untuk rumah tempat tinggal atau hunian bagi Orang Asing.
BalasHapusKemudahan yang diberikan tersebut bukan serta merta pro-asing, karena dilakukan dengan tetap memegang prinsip-prinsip pertanahan di antaranya prinsip nasionalitas, bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki Hak Milik, sedangkan Orang Asing hanya dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Pakai dan Hak Sewa.
Pertanyaannya kemudian, apakah benar kebijakan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia ini telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pribumi atau Warga Negara Indonesia pada umumnya? Apakah asas kepastian hukum yang diberikan telah juga memperhatikan asas kemanfaatan dan asas keadilan bagi Warga Negara Indonesia? Apakah dalam peraturan ini telah dengan tegas diatur batasan-batasan yang diberikan Pemerintah, sehingga dapat mencegah usaha-usaha penyelundupan hukum yang akhirnya hanya menggusur hak-hak rakyat golongan ekonomi lemah?
Suatu hukum yang baik setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Ketiga sisi tersebut haruslah saling menunjang sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tetapi jika ketiga hal tersebut dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya, persepsi seperti ini terkadang terasa dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi dalam Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum.
Oleh karena dari itu seharusnya keadilan diprioritaskan barulah kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Seyogyaya diusahakan agar setiap kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah baik hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal ini juga mengingat bahwa bangsa Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, dengan tegas dalam sila ke-5 menyebutkan, " keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. " yang memiliki nuansa semangat nasionalitas yang tinggi.
Nama : Laurentio Mardiana
HapusNIM : 15242890
Kelas: A / Semester IV
Terimakasih bapak atas ilmu yang sangat bermanfaat ini. Setelah saya membaca artikel ini, ternyata pemahaman saya atas kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah itu adalah berbeda.
BalasHapusSelain itu untuk kepemilikan WNA dapat menyingkirkan hak masyarakat pribumi yang tidak berdaya secara finansial. Didalam PP 103/2015 secara tidak langsung memberi kesempatan kepada WNA untuk memiliki Hak Atas Tanah hingga 80 tahun lamanya, sebagaimana yang di jelaskan dalam pp 103/2015, yaitu Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan kesejahteran masyarakat WNI. Masih banyak rakyat yang tidak punya tanah dan tidak punya hak atas tanah,dimana mereka juga membutuhkan hak atas tanah untuk hunian/rumah tinggal mereka sendiri.
Nama : Mardhiyah Hayati
Nim : 15242916
Kelas A / Semester IV
Nama : Mardhiyah Hayati
HapusNim : 15242916
Kelas B/semester IV
Saya setuju dengan pendapat bapak mengenai WNA tidak perlu diberikan Hak milik atas tanah Indonesia, apabila memang ingin memiliki rumah / hunian cukuplqh dengan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan sesuai dengan peraturan yang sudah ada.
BalasHapusMengenai perbedaan hak kepemilikan dan hak atas tanah ternyata berbeda merupakam ilmu baru yang baru kali ini saya mengetahui perbedaannya.
Semoga ilmu ini menjadi ladang amal dan sarana mencerdaskan bangsa Indonesia.
Karena melalui media sosial kita jadi lebih dapat berbagai dengan semua orang dari berbagai golongan di seluruh dunia
Terimakasih bapak atas ilmunya ��
Nama : FEBRIYANI NOOR RACHMAWATI
NIM : 15242910
Kelas B / Semester IV
Saya setuju dengan pendapat bapak mengenai WNA tidak perlu diberikan Hak milik atas tanah Indonesia, apabila memang ingin memiliki rumah / hunian cukuplqh dengan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan sesuai dengan peraturan yang sudah ada.
BalasHapusMengenai perbedaan hak kepemilikan dan hak atas tanah ternyata berbeda merupakam ilmu baru yang baru kali ini saya mengetahui perbedaannya.
Semoga ilmu ini menjadi ladang amal dan sarana mencerdaskan bangsa Indonesia.
Karena melalui media sosial kita jadi lebih dapat berbagai dengan semua orang dari berbagai golongan di seluruh dunia
Terimakasih bapak atas ilmunya ��
Nama : FEBRIYANI NOOR RACHMAWATI
NIM : 15242910
Kelas B / Semester IV
Terimakasih atas uraian artikel bapak, terutama mengenai perbedaan antara hak kepemilikan dan hak atas tanah. sebelum membaca artikel bapak ini, saya sungguh-sungguh kurang mencermati bahwa kedua istilah tersebut dapat diuraikan dengan sangat 'apik'menjadi pemahaman baru bagi saya sendiri yang juga bekerja di Kementrian terkait. tetapi mohon maaf bapak, untuk istilah 'hak kepemilikan' ini sendiri, apakah merupakan sebuah istilah dari bapak atau sudah ada yang mengemukakan sebelumnya? hal ini menurut Saya akan terkait dengan siapa-siapa siapa saja yang menjadi pembaca dari artikel Bapak. ketika pembaca adalah orang-orang yang memang bergelut di bidang ini, ataupun yang memiliki kedekatan ilmu berkaitan dengan hal senada tentunya akan lebih mudah dalam memahami. namun ketika pembaca adalah orang yang awam sama sekali, mungkin dengan istilah 'hak kepemilikan'-pun masih bingung,. apakah itu sebagai hak mempunyai (secara lebih sederhana lagi), ataukah hak menduduki, dsb.
BalasHapusBapak Tjahjo yang Saya hormati, tulisan bapak selanjutnya menarik sekali bagi Saya dan secara garis besar Saya setuju. Bahwa cukuplah Hak Milik itu HANYA dimiliki orang Indonesia saja.
Sekali lagi terimakasih, tulisan Bapak selanjutnya tentunya akan sangat dinanti oleh Saya dan rekan-rekan yang masih haus akan ilmu.
Nama : Farista
NIM : 15242908
Kelas : B/ Semester IV
Sebesar besar kemakmuran serta kesejahteraan bangsa dalam hal ini warga negara Indonesia harus jadi prioritas,. Kalo WNA di sini menyebabkan tujuan tersebut jadi buram maka peraturan pemerintah nomor 103/2015 yang secara tidak langsung memberi kesempatan kepada WNA untuk memiliki Hak Atas Tanah hingga 80 tahun lamanya, sebagaimana yang di jelaskan dalam pp 103/2015, yaitu Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun harus ada revisi sesuai dengan saran yang bapak tulis di tulisan bapak ini, kecuali kalo memang bisa memberikan kesejahteraan dan sebesar besar kemakmuran rakyat Indonesia tidak masalah, maksudnya kalo memang ada timbal balik nya berarti saling menguntungkan, apabila tidak berarti memang harus di revisi, harus memberikan prioritas kepada warga pribumi asli untuk bisa memperoleh tanah dan mencapai kata kemakmuran yang berasal dari tenaga tersebut
BalasHapusNama : Henry Yudi Arnanda
Nim : 15242885
Kelas A / Semester IV
Sebesar besar kemakmuran serta kesejahteraan bangsa dalam hal ini warga negara Indonesia harus jadi prioritas,. Kalo WNA di sini menyebabkan tujuan tersebut jadi buram maka peraturan pemerintah nomor 103/2015 yang secara tidak langsung memberi kesempatan kepada WNA untuk memiliki Hak Atas Tanah hingga 80 tahun lamanya, sebagaimana yang di jelaskan dalam pp 103/2015, yaitu Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun harus ada revisi sesuai dengan saran yang bapak tulis di tulisan bapak ini, kecuali kalo memang bisa memberikan kesejahteraan dan sebesar besar kemakmuran rakyat Indonesia tidak masalah, maksudnya kalo memang ada timbal balik nya berarti saling menguntungkan, apabila tidak berarti memang harus di revisi, harus memberikan prioritas kepada warga pribumi asli untuk bisa memperoleh tanah dan mencapai kata kemakmuran yang berasal dari tanah tersebut
HapusNama : Henry Yudi Arnanda
Nim : 15242885
Kelas A / Semester IV
Saya sependapat dengan bapak, bahwa perlu dikaji ulang terkait Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015. Penambahan jangka waktu Hak Pakai yang tadinya menurut PP No. 41 Tahun 1996 adalah 25 Tahun menjadi 30 Tahun pada PP NO. 103 Tahun 2015 yang jangka waktunya hampir sama seperti Hak Guna Bangunan. Menjadi diskriminatif apabila untuk warga asing diberikan jangka waktu 30 tahun sedangkan warga negara Indonesia dan Badan Hukum di Indonesia hanya 25 tahun.
BalasHapusNama : Luckyanti
NIM : 15242915
Kelas : B/Semester IV
Bahwa hak kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah, dimana hak atas tanah dapat diambil pengertian yaitu merupakan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bukan hak kepemilikan tanah karena hak atas tanah akan hapus bila tanah tidak dapat dimanfaatkan sesuai tujuan pemberian hak atas tanahnya.
BalasHapusBerdasarkan pengalaman saya sebagai petugas loket di Kantor Pertanahan, memang banyak orang yang berpendapat / berangapan bahwa jika HGB/HP telah habis masa berlakunya, maka bekas pemegang hak atas tanah tersebut tidak lagi memiliki hubungan dengan tanah tersebut. Sehingga orang dengan mudah berpikir dan bahkan bertindak untuk mengambil alih tanpa persetujuan pemiliknya yang dianggap tidak lagi memiliki hubungan dengan tanah tersebut.
Dengan apa yang Bapak sampaikan melalui tulisan ini, telah membuat pendapat / anggapan banyak orang tersebut terbantahkan. Mengenai seseorang yang memiliki HGB/HP yang telah habis masa berlakunya bukan berarti kepemilikan atas tanahnya juga hapus. Dimana hal tersebut lebih dikuatkan lagi dengan adanya Pasal 40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang dalam penjelasannya mengakui adanya hak kepemilikan tanah ini, artinya bila hak atas tanah HGB/HP masa berlakunya habis, maka bekas pemegang hak atas tanah ini yang memperoleh ganti kerugian.
WNA hanya butuh memperoleh hak atas tanah untuk membangun rumah, membangun rumah tidak harus dengan mengambil alih kepemilikan tanah, saya sangat setuju dengan pendapat Bapak mengenai hal ini. WNA dapat mempunyai rumah dengan hak atas tanah HP di atas HM atau HP di atas HPL sehingga lebih mewujudkan rasa keadilan masyarakat mengingat Indonesia bukan Negara Kapitalis.
Masyarakat Bali telah membuktikan bahwa mereka mampu menjadi “tuan rumah di negeri sendiri” dimana mereka tidak mau menjual tanahnya ke WNA. Sehingga WNA yang ingin membangun rumah harus melakukan perjanjian pemberian Hak Pakai dengan pemilik tanah sehingga lahir Hak Pakai di atas Hak Milik. Semoga hal ini dapat diadopsi oleh masyarakat di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Jangan sampai kita tergeser atau terusir dari negeri kita sendiri hanya karena besarnya modal yang dimiliki WNA.
Nama : Mutrimah Lestari
Nim : 15242919
Kelas B / Semester IV
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusMohon izin saya nina rahmawati nim 15242921 kelas B semester IV Terimakasih bapak memberikan ilmu yang sangat bermanfaat ini.alhamdulillah saya membaca artikel ini, ternyata pemahaman saya atas kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah itu adalah berbeda.saya mendapat pengetahuan baru.
Dan Mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Menurut pendapat saya,saya setuju.Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga agar tanah tetap menjadi hak milik negara atau warga negara, karena apabila tanah tersebut dikuasai oleh pihak asing maka kesejahteraan rakyat akan berkurang dan dapat menyebabkan dikuasainya sebagian wilayah negara oleh orang asing .
Terima kasih ilmu nya pak..
Wassalamu'alaikum wr wb
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusMohon izin saya nina rahmawati nim 15242921 kelas B semester IV Terimakasih bapak memberikan ilmu yang sangat bermanfaat ini.alhamdulillah saya membaca artikel ini, ternyata pemahaman saya atas kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah itu adalah berbeda.saya mendapat pengetahuan baru.
Dan Mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Menurut pendapat saya,saya setuju.Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga agar tanah tetap menjadi hak milik negara atau warga negara, karena apabila tanah tersebut dikuasai oleh pihak asing maka kesejahteraan rakyat akan berkurang dan dapat menyebabkan dikuasainya sebagian wilayah negara oleh orang asing .
Terima kasih ilmu nya pak..
Wassalamu'alaikum wr wb
Nama : NINA RAHMAWATI
NIM : 15242921
KELAS : B / SEMESTER IV
Assalamualaikum Wr Wb... terimakasih banyak saya ucapkan karena tulisan ini sangat bermanfaat untuk saya. Setelah membaca tulisan ini pemahaman saya menjadi semakin bertambah.
BalasHapusPertama mengenai Hak Kepemilikan itu berbeda dengan hak Atas Tanah. Saya setuju dengan pendapat Bapak. Bahwa Pemilikan berarti hak untuk menikmati penggunaan sesuatu, kemampuan untuk penggunaannya, menjualnya dan mengambil manfaat dari hak yang berhubungan dengannya. Dimana pemilikan menyiratkan kekuasaan fisik untuk menguasai suatu benda berkaitan erat dengan masalah hak keperdataan, pemilikan dan penguasaan merupakan masalah fakta atau praktis pada suatu saat. Sedangkan Hak Atas Tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah.
Kemudian yang kedua mengenai Warga Negara Asing yang memiliki hunian dan sekaligus hak atas tanah. Seperti yang kita ketahui dalam UUPA diatur mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Larangan tersebut diatur dalam pasal 21 UUPA. Sesuai dengan asas nasionalisme yaitu “hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan”.
Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga agar tanah tetap menjadi hak milik negara atau warga negara, karena apabila tanah tersebut dikuasai oleh pihak asing maka kesejahteraan rakyat akan berkurang dan dapat menyebabkan dikuasainya sebagian wilayah negara oleh orang asing.
Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi dan investasi di Indonesia, mau tidak mau akan semakin banyak investor asing yang masuk ke Indonesia. Semakin meningkatkan jumlah investor asing yang masuk ke Indonesia secara otomatis akan meningkatkan jumlah Warga Negara Asing yang masuk dan bekerja di Indonesia. Meningkatnya jumlah Warga Negara Asing tentu akan mempengaruhi semakin tingginya angka kebutuhan akan properti, terutama hunian untuk WNA. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah menetapkan berbagai peraturan tambahan terkait pengaturan izin kepemilikan tanah dan properti bagi WNA.
Menurut saya lahirnya Peraturan Menteri ATR/KBPN No. 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia merupakan suatu pemahaman yang tidak utuh sehingga melahirkan peraturan Perundang-undangan atau Kebijakan yang rancu. Dengan demikian maka saya setuju apabila diadakan revisi menegnai peraturan tersebut.
Kemudian yang ketiga mengenai Pemahaman Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan Hak Atas Tanah Hak Milik. Saya sependapat dengan Bapak bahwa apartemen yang dibangun di atas tanah bersama HGB tidak dapat dibeli oleh WNA. Apartemen tersebut hanya dapat dibeli oleh WNA apabila tanah bersama dibangunnya apartemen tersebut dirubah menjadi Hak Pakai, sedang pemilikan rumah susun tetap dengan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, tidak perlu dirubah menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.
Nama : Diah Retno Wulan
NIM : 15242880
Kelas : A
D.IV Semester IV
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Ismail Hasan
BalasHapusNim : 15242888
Kelas A / Semester IV
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Terimakasih atas ilmu dan wawasan yang bapak tuangkan dalam artikel ini.sangat bermanfaat dan memberikan pemahaman kepada saya bahwa kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah adalah dua hal yang berbeda. Dan selain itu untuk kepemilikan WNA dapat menyingkirkan hak masyarakat pribumi. sependapat dengan artikel ini agar tetap menjadikan masyarakat pribumi sejahtera dan makmur. Sesuai dengan asas nasionalisme yaitu “hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara Indonesia”.
Nama : Ismail Hasan
NIM : 15242888
Kelas A Semester IV
assamualaikum pak....
BalasHapusterimakasih Bapak atas ilmu yang diberikan melalui tulisan ini, mohon ijin berkomentar pak,
Pertama saya menjadi tahu mengenai perbedaan hak kepemilikan dan hak atas tanah, karena selama ini pemahaman saya adalah sama mengenai kedua hal tersebut.
Kedua lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia saya setuju dengan pendapat Bapak bahwa masih perlu direvisi karena dengan lahirnya PP tersebut berati secara tidak langsung memberi kesempatan WNA untuk dapat membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI, ditengah rakyat Indonesia yang pribumi masih kekurangan tempat tinggal walaupun dalih digunakan untuk investasi bagi WNA tersebut. selain itu juga PP tersebut bertentangan dengan pasal 21 UU no 5 tahun 1960 mengenai asas nasionalisme. UUPA sendiri telah mengatur hak bagi WNA yaitu dapat memiliki tanah di Indonesia hanya dengan Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk Bangunan. Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah dinyatakan sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia.
Padahal banyak kasus sebelum PP ini keluar yaitu terdapat WNA menguasai tanah di Indonesia. mereka mendapatkan tanah tersebut dengan cara menikahi pribumi (WNI) agar mendapatakan status hak atas tanahnya. jadi menurut saya dari pada memberikan kesempatan kepada WNA untuk mendapatkan tanah di Indonesia, akan lebih baik jika pemerintah menertibkan dan mengatur mengenai kasus seperti diatas sehingga kedepannya tidak ada (lagi) berita "Pulau di Indonesia dijual" atau "Masyarakat Indonesia tidak bisa menikmati pulau XXX karena dimiliki oleh orang asing"
sekian pak, semoga nantinya kebijakan dari pemerintah benar-benar memperhatikan rakyat dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Wassalamu'alaikum wr wb
Fitria Nur FE
Kelas A
NIM 15242884
Assalamualaikum Wr Wb.
BalasHapusSaya mengucapkan terimakasih atas ilmu dan pencerahan yang diberikan melalui artikel bapak diatas, yaitu mengenai Hak Kepemilikan itu berbeda dengan Hak Atas Tanah serta Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing.
Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat yang bapak kemukakan yaitu mengenai WNA dalam membangun rumah tidak harus mengambil alih kepemilikan tanah, cukup dengan diberikan Hak Pakai diatas Hak Milik ataupun Hak Pakai diatas HPL saja sehingga WNI tidak merasa tereliminasi dalam kepemilikan Hak Atas Tanah.
Selain itu hadirnya PP Nomor 103 tahun 2015 tersebut membuat PP Nomor 41 Tahun 1996 secara otomatis tidak akan digunakan lagi. Meski baru, PP Nomor 103 tahun 2015 tidak memiliki perbedaan signifikan dengan PP Nomor 41 Tahun 1996 , perbedaanya hanya terletak pada penambahan jangka waktu kepemilikan yang semula hanya 25 tahun menjadi 30 tahun. Sehingga bisa dikatakan terlihat lucu kalau WNA dapat jangka waktu 30 tahun tapi ini orang Indonesia dan Badan Hukum Indonesia malah cuma 25 tahun. Ini diskriminatif apalagi HP juga bukan hanya bisa digunakan untuk membangun tapi juga untuk tanah pertanian. Dan dengan terbitnya PP Nomor 103 tahun 2015 juga akan menjadi tugas baru pemerintah untuk merevisi PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), HGB, dan HP, karena didalam PP Nomor 40 Tahun 1996 dijelaskan bahwa jangka waktu HP adalah 25 tahun. Semoga kedepannya dalam pembuatan kebijakan ataupun peraturan yang baru pemerintah bisa lebih bijak dan berpihak kepada warga negara Indonesia.
Terimakasih.
Wassalamu'alaikum wr wb
NAMA : KHOIRUL ANWAR
NIM : 15242889
KELAS : A
SEMESTER : IV
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSelamat malam bapak,,
BalasHapusUntuk tulisan bapak mengenai Hak Kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah, hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah, artikel ini sangat bermanfaat untuk pribadi saya dan nantinya ilmu ini bisa saya terapkan ke dalam lingkungan kantor tempat saya bekerja,
Yang perlu saya komentari adalah Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, senada dengan pendapat bapak bahwa PP ini masih memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
Tidak serta merta pro asing, tetapi kembali lagi ke tujuan daripada sebesar besar kemakmuran rakyat, apakah dengan adanya PP ini bisa menjamin kemakmuran rakyat? Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa ketersediaan tanah di Indonesia untuk pribumi saja masih kurang, apabila ada peraturan ini memungkinkan kita untuk bisa secara tidak langsung di ambil alih oleh warga asing,.
Maksudnya dengan kondisi yang belum adanya PP tentang kepemilikan WNA ini saja masih belum tercapai kemakmuran rakyat yang nyata, masih ada dan banyak daripada warga pribumi asli yang belum tercapai kata kemakmuran,
Sama dengan saran bapak saya pribadi juga menyarankan untuk revisi tentang PP 103/2015,. Prioritas kan untuk warga negara Indonesia asli, WNA hanya sebatas tamu dan berikan batasan yang jelas dan pro warga negara Indonesia asli dalam hal kepemilikan,..
Terimakasih..
Nama : Niar Muflihat Rinandar
Kelas B / Semester IV
NIM : 15242920
Assalamualaikum Wr.Wb.
BalasHapusSebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada bapak karena tidak hanya menambah wawasan kepada saya, akan tetapi dengan tulisan ini saya jadi terinspirasi. Memang dalam era globalisasi sekarang ini tuntutan kebutuhan atas tanah semakin terasa dengan semakin terbukanya peluang bagi orang asing untuk tinggal di Indonesia. Orang asing yang tinggal di Indonesia berhubungan erat dengan tugas dan pekerjaannya serta dalam rangka untuk berinvestasi, sehingga kebutuhan tanah menjadi suatu hal yang penting. Sementara suhu politik yang mengarah pada dengan diperbolehkannya orang asing memiliki tanah Hak Pakai dan Sarusun di atas Hak Pakai. Hal ini berakibat pada praktik penguasaan dan pemilikan tanah hak milik oleh orang asing yang tidak bisa dihindari. Kepemilikan tanah hak milik (hak pakai di atas tanah negara) oleh orang asing tentunya akan mencederai kedaulatan Indonesia.
Setidaknya ada dua hal penting dari tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia, yang termuat dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yaitu:
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
2) Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia
Sejalan dengan itu, pemerintah mempunyai tugas dan tanggungjawab yang harus dilaksakan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Maka tidaklah boleh sejengkal tanah hak milik di Indonesia dimiliki orang asing. Berdasarkan hal tersebut,maka UU No. 5 tahun 1960 mewujudkannya dalam pasal 9 ayat (1), Pasal 21, pasal 26 dan pasal 27.
Berkaca pada kebijakan Pemerintah melalui PP 103 tahun 2015, maka sebaiknya pemerintah kembali mengevaluasi diri dengan melihat jauh ke atas tentang tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Iklim investasi memang meningkat dan disambut baik oleh negara-negara sahabat, namun setidaknya kita sudah punya ruh dalam keBhinekaTunggalIkaan yang dalam hal ini dapat mencegah terjadinya izin pemindahan hak atas tanah kepada orang asing. Dengan cara bersama-sama menolak menjual tanah kepada orang asing.
Mungkin Pemerintah perlu belajar dari “Strategi Pertanahan” yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Prigelan, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi jawa Tengah. Dimana dengan Instrumen relasi kuasanya, Pemerintah Desa dengan tegas melarang kepemilikan tanah masyarakat Desa Prigelan untuk dibeli atau dimiliki oleh masyarakat di luar Desa Prigelan, dan apabila sudah terlanjur terjadi, maka ada komitmen bersama untuk mengembalikan tanah yang dibeli tadi, dengan menjualnya kembali ke masyarakat yang tinggal di Desa Prigelan.
Secara pribadi saya setuju dengan bapak, apabila kebijakan Pemerintah melalui PP 103 tahun 2015 perlu dievaluasi dan direvisi, supaya tidak mencedarai kedaulatan yang sudah ada. Sekali lagi saya berterimakasih tentang wawasan yang telah diberikan kepada saya pak. Apabila ada salah kata dalam penuliasan ini saya mohon maaf, apabila ada kebenaran itu datangnya dari Allah dan apabila ada kesalahan itu datangnya dari saya pribadi.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
ABINOWO
15242872
Kelas A /Semester IV
Assalam...
BalasHapusTerima kasih atas pengetahuan yang bapak bagikan kepada pengunjung blog bapak termasuk saya..
Mohon izin menuliskan komentar, untuk peraturan pemerintah nomor 103 tahun 2015 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian untuk orang asing yang berkedudukan di Indonesia menurut saya masih tidak jelas tentang kepemilikan tanahnya, apakah memperbolehkan warga negara asing memiliki tanah tersebut dengan hak kepemilikan atas tanah itu atau cuma sekedar memperoleh hak atas tanah terhadap obyek tanah tersebut.
adapun syarat - syarat warga negara asing dapat membeli properti di Indonesia yakni:
1. Hanya boleh membeli properti dengan sertipikat hak pakai,
2. Memiliki kitas,
3. Hanya rumah tapak dan apartemen,
4. Harga properti minimal atau diatas 5 miliar,
5. Menikah dengan warga negara indonesia.
Dengan syarat - syarat diatas, pemerintah membatasi kewenangan warga asing untuk memperoleh tanah di Indobesia..
Terima kasih..
Nama : M. Alif Usman
Nim : 15242891
Kelas : A / semester 4
UUPA membolehkan WNA memiliki tanah di Indonesia,ini yg harus dirubah
HapusAssalaamu'alaikum...
BalasHapusTerima kasih atas ilmunya yang sangat bermanfaat pak..karena tulisan bapak saya dapat mengetahui bahwa hak kepemilikan bukan hak atas tanah, sedangkan saat saya masih bertugas di Kantor Pertanahan pamahaman saya dan juga rekan disana beranggapan bahwa hak atas tanah sama halnya dengan hak kepemilikan yang artinya jika tanah tersebut habis jangka waktunya maka kepemilikan tanah tersebut juga hilang. kemudian yang menjadi permasalahan disini adalah hak atas tanah kepada WNA diatas tanah negara seperti dalam tulisan diatas, artinya bahwa memang hak yang didapatkan adalah Hak Pakai namun kepemilikan tetap WNA tersebut. Saya pribadi setuju dengan bapak bahwa perlu kajian lebih lanjut lagi mengenai hal ini dikarenakan WNI sendiri masih banyak yang tidak memiliki tanah, jika WNA diberikan Hak Pakai namun kenyataannya kepemilikan tanah tersebut tetap WNA maka akan semakin banyak WNA yang memiliki tanah dan amanat dalam UUD 45 dimana tujuannya adalah kesehateraan rakyat (WNI) tidak akan tercapai
sekali lagi terima kasih atas tulisannya pak karena sangat bermanfaat bagi saya pribadi dan setiap pembaca.
Nama : Titin Lestari
NIM : 15242898
Kelas : A/Semester 4
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusMohon izin saya nina rahmawati nim 15242921 kelas B semester IV Terimakasih bapak memberikan ilmu yang sangat bermanfaat ini.alhamdulillah saya membaca artikel ini, ternyata pemahaman saya atas kepemilikan atas tanah dan hak atas tanah itu adalah berbeda.saya mendapat pengetahuan baru.
Dan Mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Menurut pendapat saya,saya setuju.Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga agar tanah tetap menjadi hak milik negara atau warga negara, karena apabila tanah tersebut dikuasai oleh pihak asing maka kesejahteraan rakyat akan berkurang dan dapat menyebabkan dikuasainya sebagian wilayah negara oleh orang asing .
Terima kasih ilmu nya pak..
Wassalamu'alaikum wr wb
Nama : NINA RAHMAWATI
NIM : 15242921
KELAS : B / SEMESTER IV
sticker jakarta
BalasHapus