Selasa, 16 Oktober 2012

HAPUSNYA HGU & DITEGASKANNYA HPL MENJADI HAK ATAS TANAH



 HAPUSNYA HAK GUNA USAHA DAN DITEGASKANNYA
HAK PENGELOLAAN MENJADI HAK ATAS

A. Konflik Petani dengan Pengelola Perkebunan
Kegiatan seseorang atau kelompok yang mengorbankan kepentingan orang atau kelompok lain dapat merupakan potensi konflik, potensi di sini merupakan sesuatu kekuatan atau dorongan yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Potensi konflik timbul karena adanya perasaan tertekan suatu kelompok karena tidak mampu melawan atau menolak akibat tindakan atau perbuatan kelompok atau pihak lain.  Potensi konflik akan menjadi konflik bila perampasan hak milik tidak sesuai norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat,
Berbicara mengenai mengenai terjadinya konflik petani dengan pengelola perkebunan di berbagai wilayah bekas perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, mengingatkan pidato Bung Karno di tahun 1960:
“Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringat orang-orang yang menggarap tanah itu” [1]
            Konflik antara masyarakat petani dengan pengelola perkebunan pada umumnya menyangkut tanah-tanah bekas perkebunan milik Belanda yang terkena ketentuan Nasionalisasi berdasarkan Undang-undang No. 86 Tahun 1958, sehingga menjadi tanah negara yang kemudian oleh pemerintah diberikan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) kepada Badan Usaha Milik Negara  (BUMN). Arsip peta-peta bekas perkebunan Belanda yang menggambarkan secara jelas letak batas-batas perkebunan tersebut masih lengkap tersimpan di beberapa Kantor Pertanahan. Peta-peta ini sangat membantu dalam menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan tanah HGU. Permasalahan yang timbul diketahui dari peta-peta lama tersebut antara lain apabila bidang tanah yang telah menjadi pemukiman dan tanah garapan turun temurun yang seharusnya diberikan kepada petani penggarap dimasukkan di dalam peta areal Hak Guna Usaha yang diberikan kepada BUMN. Fakta yang terjadi beberapa Hak Guna Usaha diterbitkan tanpa dilakukan pengukuran ulang di lapangan dan hanya menyalin “meet breef” (Surat Ukur pada masa erfpach)
Konflik masyarakat petani dengan pengelola perkebunan juga terjadi akibat dari pemberian Hak Guna Usaha kepada investor swasta yang mempunyai usaha di bidang pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan. Pemberian HGU baru ini  sering  mengakibatkan hak-hak masyarakat petani tereklusi.
 Hak Guna Usaha yang diatur Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) secara tidak langsung seperti jelmaan hak erfpach  tidak mencerminkan hak-hak adat yang hidup dalam masyarakat, Hak Guna Usaha implementasinya sering menimbulkan sengketa maupun konflik. Hak Guna Usaha pada awalnya di masa orde lama telah diupayakan menyesuaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur Pasal 1 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan dan Syarat-syarat Dalam Pemberian Hak Guna Usaha Kepada Pengusaha-Pengusaha Swasta Nasional sebagai berikut:
“Hak guna usaha untuk perusahaan kebun besar diberikan kepada badan-badan hukum yang berbentuk koperasi atau bentuk lainnya yang bersendikan gotong royong dan bermodal nasional penuh.”
Pasal ini pada masa orde baru dinyatakan tidak berlaku lagi dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian  No. 8 Tahun 1969 - 2/Pert/OP/08/1969 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 jo. No. 2 Tahun 1964. Sangat disayangkan Pasal yang mensyaratkan pemegang Hak Guna Usaha badan hukum berbentuk koperasi atau bentuk lainnya yang bersendikan gotong royong  dan bermodal nasional penuh dicabut, hal ini patut dipertanyakan.
Pada masa era Reformasi pencabutan tersebut tidak dipulihkan kembali yang berakibat badan hukum pemegang Hak Guna Usaha tidak harus bermodal nasional penuh dan tidak harus berbentuk koperasi. Banyak pemegang HGU sekarang walaupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan hukum di Indonesia tetapi sebagian besar bermodal asing.

B. Alur Pikir
  Undang-undang tidak hanya sekedar produk politik, undang-undang harus diarahkan untuk menuju keadilan yang dicitacitakan dan dapat menjadi norma kehidupan. Investor yang akan berusaha di bidang pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan  saat ini dapat menempuh beberapa cara :
1.  Memperoleh Hak Guna Usaha sebagaimana diatur Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA setelah mendapat ijin lokasi. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
2.  Melakukan pola kemitraan melalui perjanjian dengan petani pemilik tanah sebagaimana diatur Pasal 41 ayat (1) UUPA, Pasal 43 ayat (2) UUPA.  Selanjutnya untuk kepastian hukum kepada investor diberikan Hak Pakai di atas Hak Milik. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,  dan perjanjian antara investor dengan para pemilik tanah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diatur Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Bila tanah yang diperlukan amat luas dimungkinkan Hak Pakai atas nama investor ini di atas Hak Milik ratusan petani.  
3.   Melakukan perjanjian penggunaan tanah dengan pemegang Hak Pengelolaan
    Sebagaimana diatur Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
     1996
Dari ke tiga cara pengelolaan pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan tersebut di atas yang semuanya diatur dalam peraturan perundang-undangan pertanahan hanya cara angka 1 yaitu perolehan HGU yang dipilih investor. Cara angka 2 dan angka 3 belum pernah terwujud. Fakta yang terjadi cara angka 1 telah banyak menimbulkan konflik,  petani hanya sebagai buruh sedang sebagai pemilik tanah adalah pemegang HGU  melalui  badan hukum yang modalnya sebagian besar modal asing.
Usaha pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan  dengan Cara angka 2 merupakan cara yang memenuhi rasa keadilan petani, di lain pihak investor justru tidak terlalu banyak mengeluarkan modal.  Petani tidak merasa menjadi buruh walaupun ikut bekerja pada perusahaan pengelola perkebunan. Kenapa cara angka 2 ini dilupakan ???. Mungkin karena masih ada cara angka 1.
Apa yang terjadi sekarang, petani-petani setelah menerima tanah hasil reforma agraria tidak tertutup kemungkinannya untuk menjual tanahnya kepada pemilik modal yang memperoleh  Hak Guna Usaha, akhirnya petani kembali tidak memiliki tanah,  hanya sebagai buruh di perkebunan dengan Hak Guna Usaha. Reforma agraria akan menjadi sia -sia, menyedihkan memang !
Cara angka 3 yaitu pemberian Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan yang lahir dari Keputusan Pemberian Hak Pakai oleh Kepala Kantor Pertanahan,  Hak Pakai diberikan oleh karena adanya perjanjian penggunaan tanah antara investor dengan pemegang Hak Pengelolaan.  Oleh karena pemegang Hak Pengelolaan adalah instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Pemerintah, keberadaan Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan akan mempermudah pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah yang akhirnya akan mencegah timbulnya tanah terlantar. Kementerian Pertanian dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan yang di atasnya Hak Pakai untuk usaha pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan. Pada dasarnya selama ini ada Undang-Undang  dan Peraturan Pemerintah yang mengatur  Hak Pengelolaan sudah setara dengan hak atas tanah, sudah saatnya Hak Pengeloaan ini ditegaskan menjadi hak atas tanah. Demikian juga sebelum Hak Guna Usaha dihapus dari UUPA maka cara angka 2 dan cara angka 3 sulit dilaksanakan.
Selama HGU  belum dihapus dari UUPA,  Pemerintah Kabupaten/Kota selaku pengemban Pasal 14 UUPA melalui mekanisme ijin lokasi dapat mengarahkan investor yang akan berusaha di bidang pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan wajib menempuh cara angka 2 atau cara angka 3.
 Kenapa tidak mau merubah UUPA ???  Hapusnya HGU dari UUPA dan menegaskan Hak Pengelolaan menjadi hak atas tanah dalam UUPA akan dapat mencegah konflik –konflik agraria atau konflik-konflik pertanahan sekaligus mewujudkan bank tanah,  mempermudah pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam usaha mencegah tanah terlantar.

Yogyakarta, 16 Oktober 2012
TJAHJO ARIANTO




           [1] Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria, Insist Press, Yogyakarta 2003 halaman 2

Sabtu, 09 Juni 2012

KAJIKAJIAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012


KAJIAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini diharapankan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.
 Apakah undang-undang ini akan responsif atau represif ? Marilah kita kaji beberapa pasal-pasalnya..
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka  2 undang-undang ini: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak  dalam proses pengadaan tanah”. memang indah terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih indah lagi menyatakan  bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan  berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat:  “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah dilakukan bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya  akan naik, oleh karena itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada  bidang tanah yang tergusur habis.
Diatur pada Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1)    Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam  musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5).
2)    Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
a. melakukan pelepasan hak; dan
b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
3)   Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-satunya
      alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di
       kemudian  hari.
4)    Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas
       Kebenaran  dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
        diserahkan.
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini  mencerminkan Undang-Undang ini represif.  Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19 UUPA
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak  sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah  saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat.
 Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat  “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan:  Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
 Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.  Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini sendiri.