Minggu, 11 Desember 2016

PERLUKAH  WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA
MEMILIKI  RUMAH  DENGAN SEKALIGUS MEMILIKI TANAH

Oleh: Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum.[1]

ABSTRAK
Warga Negara Asing di Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia diberi kesempatan  memiliki tempat tinggal atau hunian. Bila yang dibutuhkan Warga Negara Asing rumah untuk tempat tinggal tidak perlu harus membeli tanah. Warga Negara Asing yang membutuhkan  rumah untuk tempat tinggal  dengan cara sekaligus membeli tanah dari Warga Negara Indonesia  akan menjadikan  hak kepemilikan atas tanah Warga Negara Indonesia tereliminasi.
A.   Beda  Kepemilikan Tanah dan  Hak Atas Tanah.
Teori hak kepemilikan atas tanah (jus propietatis) dibedakan dengan hak milik mutlak dan sempurna (domain). Hak kepemilikan hanya satu yaitu hak milik (domain) yang sempurna dan mutlak dalam memiliki tanah sebagai harta kekayaan (jus propietatis). Hak milik (domain) dalam teori hukum Romawi, lahir berdasarkan suatu proses pertumbuhan yang dimulai dari pendudukan dan penguasaan nyata  (occupare de facto) untuk sampai pada pengakuan hukum (de yure) Negara melalui keputusan (decisio) pemerintah. Pada awal penguasaan ‘de facto’ orang diakui memiliki hak kepunyaan (jus possessionis), setelah berjalannya waktu cukup lama tanpa sengketa dan mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat sehingga haknya disebut ‘jus possidendi’. Setelah diperoleh pengakuan sah dari pemerintah dengan suatu keputusan menjadi memiliki kekuatan hukum ‘de jure’ sehingga disebut dengan hak miik (domain) sebagai hak pribadi atau privat yang tertinggi, sempurna, dan mutlak.[2]
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) di Indonesia seseorang yang sudah menguasai menggunakan dan memanfaatkan tanah secara nyata ‘de facto’ setelah berjalannya waktu cukup lama sampai  turun temurun tanpa sengketa akan diakui memiliki hak kepunyaan (jus possesionis) dan  mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat dari masyarakat atau lahirlah hak kepemilikan atas tanah tersebut. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) hak kepemilikan tanah masyarakat tersebut oleh Pemerintah[3] dapat diakui sebagai tanah adat atau bukan tanah adat.  Bila diakui Pemerintah sebagai tanah adat maka hak kepemilikan tanah perorangan tersebut sudah dilekati hak atas tanah Hak Milik yang dimaksud Pasal 16 ayat 1 huruf a  UUPA atau hak kepemilikan tanah sudah menyatu dengan hak atas tanah.
Apabila Pemerintah tidak mengakui sebagai tanah adat maka kepemilikan atas tanah tersebut (jus possessionis) belum dilekati hak atas tanah atau sering disebut sebagai “tanah Negara”. Penguasa atau pemilik tanah tersebut untuk tanahnya  dapat dilekati hak atas tanah harus mengajukan kepada pemerintah permohonan hak atas tanah. Hak atas tanah yang dimohon baru lahir dan melekat atau menyatu dengan kepemilikan tanahnya pada saat Buku Tanah di tanda tangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Apabila seseorang tidak dapat atau dianggap tidak dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah[4] tersebut atau terbukti tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut[5] maka hak atas tanah Hak Milik ini akan hapus. Hapusnya hak atas tanah tidak serta merta menghapus hak kepemilikan tanah. Sebagai contoh seorang petani yang memiliki tanah pertanian di Jember dan  mempunyai anak tunggal yang tinggalnya di Malang, bila petani tersebut meninggal maka hak kepemilikan tanah pertanian sejak petani tersebut meninggal secara langsung terang tunai beralih ke anaknya yang di Malang. Karena anaknya yang di Malang oleh undang-undang tidak dapat memiliki tanah pertanian[6] maka undang-undang memberi kesempatan dalam waktu satu tahun kepada anak tersebut untuk menjual tanahnya ke petani setempat. Kurun waktu satu menjualnya masih di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Apabila lewat satu tahun tanah pertanian tersebut belum dijual maka hak atas tanah karena undang undang menjadi hapus. Tanah tersebut dapat menjadi objek land reform, apabila tanah menjadi objek landreform maka anak tersebut akan mendapat ganti rugi dari pemerintah, yang diberi ganti rugi adalah hak kepemilikan tanahnya yang dalam hal ini hak atas tanahnya sudah hapus. Apabila tanah tersebut tidak menjadi objek landreform maka anak petani tersebut masih dapat menjual tanah tersebut walaupun hak atas tanahnya telah hapus,[7] yang dijual adalah hak kepemilikan atas tanah tersebut atau dapat disebut dengan hak keperdataan, oleh karena itu menjualnya bukan di hadapan PPAT tetapi di hadapan Notaris atau Kepala Kantor Pertanahan atau Camat.
Dari contoh uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa hak kepemilikan  tanah berbeda dengan hak atas tanah. Hak atas tanah dapat diambil pengertian merupakan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bukan hak kepemilikan tanah, karena  hak atas tanah akan hapus bila tanah tidak dapat dimanfaatkan sesuai tujuan pemberian hak atas tanahnya. Orang memiliki rumah dengan hak atas tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai bila HGB atau Hak Pakainya nya habis masa berlakunya bukan berarti kepemilikan atas tanahnya juga hapus, banyak yang berpendapat  bahwa yang dimiliki hanya tinggal rumahnya. Pasal 40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dalam penjelasannya mengakui adanya hak kepemilikan  tanah ini, artinya bila hak atas tanah HGB atau Hak Pakai masa berlakunya habis, maka bekas pemegang hak atas tanah ini yang memperoleh ganti kerugian.  

B.   Hak Atas Tanah Hak Pakai Bagi Warga Negara Asing.
Hak atas tanah Hak Pakai  adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung Negara atau tanah milik orang lain.[8] Pasal 42 huruf b  UUPA mengatur Warga Negara Asing (WNA) dapat memiliki tanah dengan hak atas tanah Hak Pakai.
Dari Pasal 41 ayat (1) UUPA  dan Pasal 42 huruf b UUPA maka WNA dapat memperoleh hak atas tanah Hak Pakai dari:
1)    tanah yang dikuasai Negara dan
2)     tanah milik orang lain.
Hak Pakai di atas tanah yang dikuasai Negara (angka 1)) atau dikenal dengan Hak Pakai di atas Tanah Negara, terjadi melalui:
a)    permohonan hak atas tanah hak pakai oleh WNA asing tersebut dengan alas  hak berupa
 bukti tertulis perolehan tanah.  Perolehan tanah tersebut sudah tentu dengan cara membeli tanah yang status tanahnya Tanah Negara atau  tanah yang dilekati hak atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau sebagian Hak Guna Usaha melalui melalui pelepasan hak atas tanah dan hak kepemilikan di hadapan Notaris atau Kepala Kantor Pertanahan.
b)   Jual beli di hadapan PPAT terhadap tanah yang sertipikatnya sudah Hak Pakai di atas Tanah Negara dari tanah dengan hak atas tanah Hak Milik yang telah dirubah menjadi Hak Pakai.

Perbuatan hukum WNA pada huruf a) dan b) di atas telah mengambil alih hak kepemilikan dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan tanahnya menjadi milik  WNA  hanya hak atas tanah yang melekat adalah Hak Pakai.

Hak Pakai atas tanah milik orang lain (angka 2) terjadi dari perjanjian pemberian hak atas tanah antara WNA dengan  WNI yang memiliki tanah hak atas tanah Hak Milik melalui Akta PPAT, perbuatan hukum WNA di perjanjian ini tidak mengambil alih kepemilikan tanah WNI. Perkembangan selanjutnya hak atas tanah Hak Pakai dapat lahir di atas Hak Pengelolaan (HPL)[9], pemegang Hak Pengelolaan adalah pemilik tanah. Pemegang Hak Pengelolaan dibatasi hanya untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Otorita. Hak Pengelolaan merupakan hak atas tanah yang dapat difungsikan sebagai bank tanah guna pengendali penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mencegah spekulan tanah.
WNA yang membangun rumah di atas Hak Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak Pakai di atas HPL lebih memenuhi rasa keadilan atau sesuai dengan visi Reforma Agraria.  WNA hanya membutuhkan rumah untuk hunian tidak harus dengan memiliki tanah, seharusnya Pemerintah memperhatikan pasal 33 UUD 1945 melindungi rakyatnya dengan tidak memberi kesempatan WNA asing membangun rumah hunian dengan mengambil alih kepemilikan WNI. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI seperti diatur Pasal 4 sebagai berikut:
Pasal 4
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:
a. Rumah Tunggal di atas tanah:
1. Hak Pakai; atau
2. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.

Pasal 4 huruf a angka 1 menyatakan Rumah Tunggal[10] dibangun di atas tanah Hak Pakai, di sini Hak Pakai di atas Tanah Negara artinya WNA menjadi pemilik tanah tersebut.   Pasal 4 huruf a angka 2 Rumah dibangun oleh WNA di atas Hak Pakai atas Hak Milik WNI.   WNA di sini memiliki hak atas tanah yang tidak memiliki tanah.[11] Pasal 4 huruf a ini tidak  mengatur bahwa   Rumah hunian WNA dapat dibangun di atas tanah Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan sebagaimana diatur Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 40  Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
WNA mempunyai rumah dengan hak atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak Pakai di atas HPL lebih mewujudkan rasa keadilan masyarakat mengingat Indonesia bukan Negara Kapitalis. WNA hanya butuh memperoleh hak atas tanah untuk membangun rumah, membangun rumah tidak harus dengan mengambil alih kepemilikan tanah. Kenapa WNA untuk mempunyai rumah tidak dibatasi dengan Hak Pakai atas Hak Milik atau di atas HPL saja?. Menjadi pertanyaan, kemana arah Politik Pertanahan Pemerintah kita ke arah kapitalis atau sosialis?
Masyarakat Bali dapat dijadikan contoh, mereka tidak mau menjual tanahnya ke WNA.  WNA untuk membangun rumah harus melakukan perjanjian pemberian Hak Pakai dengan pemilik tanah sehingga lahir Hak Pakai atas Hak Milik.

C.           Pemahaman Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan Hak Atas Tanah
          Hak Milik.

Pemahaman pengertian tentang Hak Milik sebagai hak atas tanah yang diatur UUPA dengan pemahaman pengertian Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang diatur Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, masih belum dipahami oleh beberapa pihak. Kata ”Hak Milik ” dalam Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun jangan dimaknai  sepenuhnya sama dengan Hak Milik yang dimaksud hak atas tanah menurut UUPA. WNA dapat memiliki Rumah Susun[12] dengan yang tanda bukti pemilikannya adalah Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan syarat Rumah Susun tersebut di bangun di atas tanah bersama Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan[13]. Pasal 17 Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur sebagai berikut:
 Pasal 17
Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a.     hak milik;
b.     hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c.    hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan

 Beberapa pasal di  Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia ada pasal subtansinya tidak jelas atau kabur antara lain pasal sebagai berikut:
Pasal 6 angka 2 menyatakan: “Sarusun yang dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang Asing yang bersangkutan”.
Timbul pertanyaan apakah salah menurut undang-undang  kalau WNA yang membeli apartemen yang tanah bersamanya dibangun di atas hak atas tanah hak pakai tanda  bukti pemilikannya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sehingga harus dirubah menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun?  Sebaliknya apabila apartemen di bangun diatas tanah bersama Hak Guna Bangunan apakah apartemen tersebut dapat dibeli oleh WNA?
Apartemen yang dibangun di atas tanah bersama HGB tidak dapat dibeli oleh WNA. Apartemen tersebut  hanya dapat dibeli oleh WNA apabila tanah bersama dibangunnya apartemen tersebut  dirubah menjadi Hak Pakai,  sedang pemilikan rumah susun tetap dengan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, tidak perlu dirubah menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.

D.   Kesimpulan dan Saran
           1.    Kesimpulan
a.    Hak Kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah, hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
c.    Ditemukan subtansi yang tidak jelas dalam pasal 6 ayat  2)  Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
2.    Saran
a.    Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia perlu direvisi sehingga tidak memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI, WNA untuk membangun rumah cukup dengan hak atas tanah Hak Pakai atas Hak Milik atau dengan hak atas tanah Hak Pakai di atas HPL.
b.    Perlu revisi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.

DAFTAR BACAAN
1)       Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012,
2)       Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
3)       Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Rumah Susun
4)       Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
5)       Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
6)       Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.

Yogyakarta, 24 Nopember 2016

Tjahjo Arianto



[1] Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional; Dosen Magister Teknik Geodesi/Geomatika Universitas Gadjah Mada; Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta; mantan Kasi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kab. Jember, Kab. Sidoarjo, Jakarta Timur tahun 1989 – 1999; Kasi Tata Pendaftaran Tanah BPN Pusat tahun 1999 – 2001; Kepala Kantor Pertanahan Kab. Jember, Kabupaten Gresik, Surabaya Timur tahun 2001 – 2009; Kepala Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 – 2010.
          [2] Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012, halaman 16-17.
[3] Pemerintah di sini diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional
[4] Menjadi tanah absente karena pemilik tanah dianggap tidak mungkin menggunakan dan memanfaatkan tanah maka hapuslah ha katas tanah tersebut.
[5] Menjadi tanah terlantar, karena pemilik tanah terbukti tidak mampu memanfaatkan tanah.
[6] Karena dianggap tidak mungkin memanfaatkan tanah pertanian.
[7] Hak atas tanah hapus tetapi hapusnya ha katas tanah tersebut belum dicatat pada Buku Tanah dan Sertipikatnya.
[8] Pasal 41 ayat (1) UUPA.
[9] Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40  Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
[10] Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia).
[11] Asas Pemisahan Horisontal.
[12] Bahasa populernya Apartemen atau Strata title
[13] Pasal 17 huruf a dan huruf b.