Selasa, 06 November 2012
Senin, 05 November 2012
Selasa, 16 Oktober 2012
HAPUSNYA HGU & DITEGASKANNYA HPL MENJADI HAK ATAS TANAH
HAPUSNYA HAK GUNA USAHA DAN DITEGASKANNYA
HAK
PENGELOLAAN MENJADI HAK ATAS
A. Konflik
Petani dengan Pengelola Perkebunan
Kegiatan seseorang atau kelompok
yang mengorbankan kepentingan orang atau kelompok lain dapat merupakan potensi
konflik, potensi di sini merupakan sesuatu kekuatan atau dorongan yang menjadi
pemicu terjadinya konflik. Potensi konflik timbul karena adanya perasaan
tertekan suatu kelompok karena tidak mampu melawan atau menolak akibat tindakan
atau perbuatan kelompok atau pihak lain. Potensi konflik akan menjadi konflik bila
perampasan hak milik tidak sesuai norma-norma dan nilai-nilai budaya yang
berlaku dalam masyarakat setempat,
Berbicara mengenai mengenai
terjadinya konflik petani dengan pengelola perkebunan di berbagai wilayah bekas
perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, mengingatkan pidato Bung Karno
di tahun 1960:
“Tanah untuk mereka yang betul-betul
menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi
gemuk gendut karena menghisap keringat orang-orang yang menggarap tanah itu” [1]
Konflik
antara masyarakat petani dengan pengelola perkebunan pada umumnya
menyangkut tanah-tanah bekas perkebunan milik Belanda yang terkena ketentuan
Nasionalisasi berdasarkan Undang-undang No. 86 Tahun 1958, sehingga menjadi
tanah negara yang kemudian oleh pemerintah diberikan dengan status Hak Guna
Usaha (HGU) kepada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Arsip peta-peta bekas perkebunan Belanda yang menggambarkan
secara jelas letak batas-batas perkebunan tersebut masih lengkap tersimpan di
beberapa Kantor Pertanahan. Peta-peta ini sangat membantu dalam menyelesaikan
konflik yang berkaitan dengan tanah HGU. Permasalahan yang timbul diketahui
dari peta-peta lama tersebut antara lain apabila bidang tanah yang telah
menjadi pemukiman dan tanah garapan turun temurun yang seharusnya diberikan
kepada petani penggarap dimasukkan di dalam peta areal Hak Guna Usaha yang
diberikan kepada BUMN. Fakta yang terjadi beberapa Hak Guna Usaha diterbitkan
tanpa dilakukan pengukuran ulang di lapangan dan hanya menyalin “meet breef” (Surat Ukur pada masa erfpach)
Konflik masyarakat petani dengan
pengelola perkebunan juga terjadi akibat dari pemberian Hak Guna Usaha kepada
investor swasta yang mempunyai usaha di bidang pertanian/perkebunan, perikanan
atau peternakan. Pemberian HGU baru ini
sering mengakibatkan hak-hak
masyarakat petani tereklusi.
Hak Guna Usaha yang diatur Pasal 28 sampai
dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) secara tidak langsung
seperti jelmaan hak erfpach tidak mencerminkan hak-hak adat yang hidup
dalam masyarakat, Hak Guna Usaha implementasinya sering menimbulkan sengketa
maupun konflik. Hak Guna Usaha pada awalnya di masa orde lama telah diupayakan menyesuaikan
dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur Pasal 1
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang
Ketentuan-Ketentuan dan Syarat-syarat Dalam Pemberian Hak Guna Usaha Kepada
Pengusaha-Pengusaha Swasta Nasional sebagai berikut:
“Hak guna usaha untuk perusahaan
kebun besar diberikan kepada badan-badan hukum yang berbentuk koperasi atau bentuk lainnya yang
bersendikan gotong royong dan bermodal
nasional penuh.”
Pasal ini pada masa orde baru dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 8 Tahun 1969 -
2/Pert/OP/08/1969 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
Nomor 11 Tahun 1962 jo. No. 2 Tahun 1964.
Sangat disayangkan Pasal yang mensyaratkan pemegang Hak Guna Usaha badan hukum
berbentuk koperasi atau bentuk lainnya yang bersendikan gotong royong dan bermodal nasional penuh dicabut, hal ini
patut dipertanyakan.
Pada masa era Reformasi pencabutan
tersebut tidak dipulihkan kembali yang berakibat badan hukum pemegang Hak Guna
Usaha tidak harus bermodal nasional penuh dan tidak harus berbentuk koperasi. Banyak
pemegang HGU sekarang walaupun badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan hukum di Indonesia tetapi sebagian besar bermodal
asing.
B. Alur
Pikir
Undang-undang tidak hanya sekedar
produk politik, undang-undang harus diarahkan untuk menuju keadilan yang
dicitacitakan dan dapat menjadi norma kehidupan. Investor yang akan berusaha di
bidang pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan saat ini dapat menempuh beberapa cara :
1. Memperoleh
Hak Guna Usaha sebagaimana diatur Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA setelah
mendapat ijin lokasi. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
2. Melakukan
pola kemitraan melalui perjanjian dengan petani pemilik tanah sebagaimana
diatur Pasal 41 ayat (1) UUPA, Pasal 43 ayat (2) UUPA. Selanjutnya untuk kepastian hukum kepada
investor diberikan Hak Pakai di atas Hak Milik. Hal ini diatur lebih lanjut
dalam Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, dan perjanjian antara investor dengan para
pemilik tanah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diatur
Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Bila tanah yang diperlukan
amat luas dimungkinkan Hak Pakai atas nama investor ini di atas Hak Milik
ratusan petani.
3. Melakukan
perjanjian penggunaan tanah dengan pemegang Hak Pengelolaan
Sebagaimana
diatur Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996
Dari ke tiga
cara pengelolaan pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan tersebut di
atas yang semuanya diatur dalam peraturan perundang-undangan pertanahan hanya
cara angka 1 yaitu perolehan HGU yang dipilih investor. Cara angka 2 dan angka
3 belum pernah terwujud. Fakta yang terjadi cara angka 1 telah banyak
menimbulkan konflik, petani hanya
sebagai buruh sedang sebagai pemilik tanah adalah pemegang HGU melalui badan hukum yang modalnya sebagian besar modal
asing.
Usaha
pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan
dengan Cara angka 2 merupakan cara yang memenuhi rasa keadilan petani,
di lain pihak investor justru tidak terlalu banyak mengeluarkan modal. Petani tidak merasa menjadi buruh walaupun
ikut bekerja pada perusahaan pengelola perkebunan. Kenapa cara angka 2 ini
dilupakan ???. Mungkin karena masih ada cara angka 1.
Apa yang
terjadi sekarang, petani-petani setelah menerima tanah hasil reforma agraria tidak
tertutup kemungkinannya untuk menjual tanahnya kepada pemilik modal yang
memperoleh Hak Guna Usaha, akhirnya
petani kembali tidak memiliki tanah, hanya sebagai buruh di perkebunan dengan Hak
Guna Usaha. Reforma agraria akan menjadi sia -sia, menyedihkan memang !
Cara angka 3
yaitu pemberian Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan yang lahir dari Keputusan
Pemberian Hak Pakai oleh Kepala Kantor Pertanahan, Hak Pakai diberikan oleh karena adanya
perjanjian penggunaan tanah antara investor dengan pemegang Hak
Pengelolaan. Oleh karena pemegang Hak
Pengelolaan adalah instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Pemerintah, keberadaan
Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan akan mempermudah pengendalian penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang akhirnya akan mencegah timbulnya tanah terlantar. Kementerian
Pertanian dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan yang di atasnya Hak Pakai
untuk usaha pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan. Pada dasarnya
selama ini ada Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah yang mengatur Hak
Pengelolaan sudah setara dengan hak atas tanah, sudah saatnya Hak Pengeloaan
ini ditegaskan menjadi hak atas tanah. Demikian juga sebelum Hak Guna Usaha
dihapus dari UUPA maka cara angka 2 dan cara angka 3 sulit dilaksanakan.
Selama HGU belum dihapus dari UUPA, Pemerintah Kabupaten/Kota selaku pengemban
Pasal 14 UUPA melalui mekanisme ijin lokasi dapat mengarahkan investor yang
akan berusaha di bidang pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan wajib
menempuh cara angka 2 atau cara angka 3.
Kenapa tidak mau merubah UUPA ??? Hapusnya HGU dari UUPA dan menegaskan Hak
Pengelolaan menjadi hak atas tanah dalam UUPA akan dapat mencegah konflik
–konflik agraria atau konflik-konflik pertanahan sekaligus mewujudkan bank
tanah, mempermudah pengendalian
penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam usaha mencegah tanah terlantar.
Yogyakarta,
16 Oktober 2012
TJAHJO
ARIANTO
Sabtu, 09 Juni 2012
KAJIKAJIAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012
KAJIAN
YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan
sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan
tanahnya. Undang-undang ini diharapankan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa
keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi
pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan
perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk
memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.
Apakah undang-undang
ini akan responsif atau represif ? Marilah kita kaji beberapa pasal-pasalnya..
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini: “Pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti
Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. memang indah
terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih indah lagi
menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan
berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan
keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena
asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10
undang-undang ini. Kalimat: “Ganti
kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.
Pasal 5
menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata
wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum
yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak
oleh pihak yang berhak.
Penilaian
besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah dilakukan bidang per bidang
tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya
memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam
keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih
rendah. Dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan
nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak
tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya akan naik, oleh karena itu nilai ganti
ruginya harus lebih rendah daripada
bidang tanah yang tergusur habis.
Diatur pada
Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah
terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas
bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan
sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah
penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas
tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal
ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah
muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selanjutnya
bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1)
Ganti
Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang
ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5).
2)
Pada saat
pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
a.
melakukan pelepasan hak; dan
b.
menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b merupakan satu-satunya
alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di
kemudian hari.
4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
bertanggung jawab atas
Kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang
diserahkan.
Pasal 41
ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak
harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya
bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari
hal ini mencerminkan Undang-Undang ini
represif. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan
dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19
ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19
UUPA
(1) Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.
pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal
19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal
ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di
Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih
dapat diganggu gugat.
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu
dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak
dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan
sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak
dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya
wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat
itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Pasal Pasal
43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada
saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian
Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak
Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari
pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya
undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa
yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan
angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)