Kamis, 29 Desember 2016
Senin, 19 Desember 2016
Kamis, 15 Desember 2016
Minggu, 11 Desember 2016
PERLUKAH WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA
MEMILIKI RUMAH DENGAN SEKALIGUS MEMILIKI TANAH
Oleh: Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum.[1]
ABSTRAK
Warga Negara Asing di Indonesia yang
keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi
di Indonesia diberi kesempatan memiliki
tempat tinggal atau hunian. Bila yang dibutuhkan Warga Negara Asing rumah untuk
tempat tinggal tidak perlu harus membeli tanah. Warga Negara Asing yang
membutuhkan rumah untuk tempat
tinggal dengan cara sekaligus membeli
tanah dari Warga Negara Indonesia akan
menjadikan hak kepemilikan atas tanah
Warga Negara Indonesia tereliminasi.
A.
Beda Kepemilikan Tanah dan Hak Atas Tanah.
Teori hak kepemilikan atas tanah (jus propietatis) dibedakan dengan hak
milik mutlak dan sempurna (domain).
Hak kepemilikan hanya satu yaitu hak milik (domain)
yang sempurna dan mutlak dalam memiliki tanah sebagai harta kekayaan (jus propietatis). Hak milik (domain) dalam teori hukum Romawi, lahir
berdasarkan suatu proses pertumbuhan yang dimulai dari pendudukan dan
penguasaan nyata (occupare de facto) untuk sampai pada pengakuan hukum (de yure) Negara melalui keputusan (decisio) pemerintah. Pada awal
penguasaan ‘de facto’ orang diakui
memiliki hak kepunyaan (jus possessionis),
setelah berjalannya waktu cukup lama tanpa sengketa dan mendapat pengakuan
hukum yang lebih kuat sehingga haknya disebut ‘jus possidendi’. Setelah diperoleh pengakuan sah dari pemerintah
dengan suatu keputusan menjadi memiliki kekuatan hukum ‘de jure’ sehingga disebut dengan hak miik (domain) sebagai hak pribadi atau privat yang tertinggi, sempurna,
dan mutlak.[2]
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 (UUPA) di Indonesia seseorang yang
sudah menguasai menggunakan dan memanfaatkan tanah secara nyata ‘de facto’ setelah
berjalannya waktu cukup lama sampai
turun temurun tanpa sengketa akan diakui memiliki hak kepunyaan (jus possesionis) dan mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat dari
masyarakat atau lahirlah hak kepemilikan atas tanah tersebut. Setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA) hak kepemilikan tanah masyarakat tersebut oleh Pemerintah[3]
dapat diakui sebagai tanah adat atau bukan tanah adat. Bila diakui Pemerintah sebagai tanah adat
maka hak kepemilikan tanah perorangan tersebut sudah dilekati hak atas tanah
Hak Milik yang dimaksud Pasal 16 ayat 1 huruf a UUPA atau hak kepemilikan tanah sudah menyatu
dengan hak atas tanah.
Apabila Pemerintah
tidak mengakui sebagai tanah adat maka kepemilikan atas tanah tersebut (jus possessionis) belum dilekati hak
atas tanah atau sering disebut sebagai “tanah Negara”. Penguasa atau pemilik
tanah tersebut untuk tanahnya dapat
dilekati hak atas tanah harus mengajukan kepada pemerintah permohonan hak atas
tanah. Hak atas tanah yang dimohon baru lahir dan melekat atau menyatu dengan
kepemilikan tanahnya pada saat Buku Tanah di tanda tangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan.
Apabila seseorang
tidak dapat atau dianggap tidak dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah[4]
tersebut atau terbukti tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut[5]
maka hak atas tanah Hak Milik ini akan hapus. Hapusnya hak atas tanah tidak
serta merta menghapus hak kepemilikan tanah. Sebagai contoh seorang petani
yang memiliki tanah pertanian di Jember dan
mempunyai anak tunggal yang tinggalnya di Malang, bila petani tersebut
meninggal maka hak kepemilikan tanah pertanian sejak petani tersebut meninggal
secara langsung terang tunai beralih ke anaknya yang di Malang. Karena anaknya
yang di Malang oleh undang-undang tidak dapat memiliki tanah pertanian[6]
maka undang-undang memberi kesempatan dalam waktu satu tahun kepada anak
tersebut untuk menjual tanahnya ke petani setempat. Kurun waktu satu menjualnya
masih di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Apabila lewat satu tahun
tanah pertanian tersebut belum dijual maka hak atas tanah karena undang undang
menjadi hapus. Tanah tersebut dapat menjadi objek land reform, apabila tanah menjadi objek landreform maka anak
tersebut akan mendapat ganti rugi dari pemerintah, yang diberi ganti rugi
adalah hak kepemilikan tanahnya yang dalam hal ini hak atas tanahnya sudah
hapus. Apabila tanah tersebut tidak menjadi objek landreform maka anak petani
tersebut masih dapat menjual tanah tersebut walaupun hak atas tanahnya telah
hapus,[7]
yang dijual adalah hak kepemilikan atas tanah tersebut atau dapat disebut
dengan hak keperdataan, oleh karena itu menjualnya bukan di hadapan PPAT tetapi
di hadapan Notaris atau Kepala Kantor Pertanahan atau Camat.
Dari contoh uraian
di atas dapat diambil pengertian bahwa hak kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas tanah. Hak atas
tanah dapat diambil pengertian merupakan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan
tanah bukan hak kepemilikan tanah, karena
hak atas tanah akan hapus bila tanah tidak dapat dimanfaatkan sesuai
tujuan pemberian hak atas tanahnya. Orang memiliki rumah dengan hak atas tanah
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai bila HGB atau Hak Pakainya nya habis masa
berlakunya bukan berarti kepemilikan atas tanahnya juga hapus, banyak yang berpendapat bahwa yang dimiliki hanya tinggal rumahnya. Pasal
40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dalam penjelasannya
mengakui adanya hak kepemilikan tanah
ini, artinya bila hak atas tanah HGB atau Hak Pakai masa berlakunya habis, maka
bekas pemegang hak atas tanah ini yang memperoleh ganti kerugian.
B.
Hak Atas Tanah Hak Pakai
Bagi Warga Negara Asing.
Hak atas tanah Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung Negara atau tanah
milik orang lain.[8] Pasal 42
huruf b UUPA mengatur Warga Negara Asing
(WNA) dapat memiliki tanah dengan hak atas tanah Hak Pakai.
Dari Pasal 41 ayat (1)
UUPA dan Pasal 42 huruf b UUPA maka WNA
dapat memperoleh hak atas tanah Hak Pakai dari:
1) tanah yang dikuasai
Negara dan
2) tanah milik orang lain.
Hak Pakai di atas tanah yang dikuasai Negara (angka 1)) atau dikenal dengan Hak Pakai
di atas Tanah Negara, terjadi melalui:
a)
permohonan hak atas tanah hak pakai oleh WNA asing
tersebut dengan alas hak berupa
bukti
tertulis perolehan tanah. Perolehan
tanah tersebut sudah tentu dengan cara membeli tanah yang status tanahnya Tanah
Negara atau tanah yang dilekati hak atas
tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau sebagian Hak Guna Usaha melalui melalui
pelepasan hak atas tanah dan hak kepemilikan di hadapan Notaris atau Kepala
Kantor Pertanahan.
b) Jual beli di hadapan PPAT terhadap tanah yang sertipikatnya sudah Hak Pakai di atas Tanah Negara dari tanah dengan hak atas tanah Hak Milik yang telah dirubah menjadi Hak Pakai.
b) Jual beli di hadapan PPAT terhadap tanah yang sertipikatnya sudah Hak Pakai di atas Tanah Negara dari tanah dengan hak atas tanah Hak Milik yang telah dirubah menjadi Hak Pakai.
Perbuatan hukum WNA pada
huruf a) dan b) di atas telah mengambil
alih hak kepemilikan dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan tanahnya menjadi
milik WNA hanya hak atas tanah yang melekat adalah Hak
Pakai.
Hak Pakai atas tanah
milik orang lain (angka 2) terjadi
dari perjanjian pemberian hak atas tanah antara WNA dengan WNI yang memiliki tanah hak atas tanah Hak
Milik melalui Akta PPAT, perbuatan hukum WNA di perjanjian ini tidak mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
Perkembangan selanjutnya hak atas tanah Hak Pakai dapat lahir di atas Hak
Pengelolaan (HPL)[9],
pemegang Hak Pengelolaan adalah pemilik tanah. Pemegang Hak Pengelolaan
dibatasi hanya untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Otorita. Hak
Pengelolaan merupakan hak atas tanah yang dapat difungsikan sebagai bank tanah
guna pengendali penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mencegah spekulan tanah.
WNA yang membangun rumah di atas Hak Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak
Pakai di atas HPL lebih memenuhi rasa keadilan atau sesuai dengan visi Reforma
Agraria. WNA hanya membutuhkan rumah
untuk hunian tidak harus dengan memiliki tanah, seharusnya Pemerintah
memperhatikan pasal 33 UUD 1945 melindungi rakyatnya dengan tidak memberi
kesempatan WNA asing membangun rumah hunian dengan mengambil alih kepemilikan
WNI. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih
memberi kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah
WNI seperti diatur Pasal 4 sebagai berikut:
Pasal 4
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat
dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
merupakan:
a. Rumah Tunggal di atas tanah:
1. Hak Pakai; atau
2. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai
berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai.
Pasal 4 huruf a angka 1 menyatakan Rumah
Tunggal[10] dibangun di atas tanah
Hak Pakai, di sini Hak Pakai di atas Tanah Negara artinya WNA menjadi pemilik
tanah tersebut. Pasal 4 huruf a angka 2
Rumah dibangun oleh WNA di atas Hak Pakai atas Hak Milik WNI. WNA di
sini memiliki hak atas tanah yang tidak memiliki tanah.[11] Pasal 4 huruf a ini tidak
mengatur bahwa Rumah hunian WNA dapat dibangun di atas tanah
Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan sebagaimana diatur Pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
WNA mempunyai rumah dengan hak atas tanah Hak
Pakai atas tanah Hak Milik atau Hak Pakai di atas HPL lebih mewujudkan rasa
keadilan masyarakat mengingat Indonesia bukan Negara Kapitalis. WNA hanya butuh
memperoleh hak atas tanah untuk membangun rumah, membangun rumah tidak harus
dengan mengambil alih kepemilikan tanah. Kenapa WNA untuk mempunyai rumah tidak
dibatasi dengan Hak Pakai atas Hak Milik atau di atas HPL saja?. Menjadi
pertanyaan, kemana arah Politik Pertanahan Pemerintah kita ke arah kapitalis
atau sosialis?
Masyarakat Bali dapat dijadikan contoh,
mereka tidak mau menjual tanahnya ke WNA.
WNA untuk membangun rumah harus melakukan perjanjian pemberian Hak Pakai
dengan pemilik tanah sehingga lahir Hak Pakai atas Hak Milik.
C.
Pemahaman Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan Hak
Atas Tanah
Hak
Milik.
Pemahaman pengertian tentang Hak
Milik sebagai hak atas tanah yang diatur UUPA dengan pemahaman pengertian Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang diatur Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun, masih belum dipahami oleh beberapa pihak. Kata ”Hak Milik
” dalam Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun jangan dimaknai sepenuhnya sama dengan Hak Milik yang
dimaksud hak atas tanah menurut UUPA. WNA dapat memiliki Rumah Susun[12] dengan yang tanda bukti
pemilikannya adalah Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan syarat
Rumah Susun tersebut di bangun di atas tanah bersama Hak Pakai atau Hak Pakai
di atas Hak Pengelolaan[13]. Pasal 17 Undang – undang
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur sebagai berikut:
Pasal 17
Rumah
susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak
milik;
b. hak
guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak
pengelolaan
Beberapa pasal di Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia ada pasal
subtansinya tidak jelas atau kabur antara lain pasal sebagai berikut:
Pasal 6 angka 2 menyatakan: “Sarusun yang
dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh
Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun
kepada Orang Asing yang bersangkutan”.
Timbul pertanyaan apakah salah menurut
undang-undang kalau WNA yang membeli
apartemen yang tanah bersamanya dibangun di atas hak atas tanah hak pakai
tanda bukti pemilikannya Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun sehingga harus dirubah menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah
Susun? Sebaliknya apabila apartemen di
bangun diatas tanah bersama Hak Guna Bangunan apakah apartemen tersebut dapat
dibeli oleh WNA?
Apartemen yang dibangun di atas tanah bersama
HGB tidak dapat dibeli oleh WNA. Apartemen tersebut hanya dapat dibeli oleh WNA apabila tanah
bersama dibangunnya apartemen tersebut dirubah menjadi Hak Pakai, sedang pemilikan rumah susun tetap dengan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, tidak perlu dirubah menjadi Hak Pakai Atas
Satuan Rumah Susun.
D.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
a. Hak Kepemilikan tanah berbeda dengan hak atas
tanah, hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah.
b. Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia masih memberi kesempatan WNA
membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI.
c. Ditemukan subtansi yang tidak jelas dalam
pasal 6 ayat 2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
2.
Saran
a. Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia perlu direvisi sehingga tidak memberi
kesempatan WNA membangun rumah dengan mengambil alih kepemilikan tanah WNI, WNA
untuk membangun rumah cukup dengan hak atas tanah Hak Pakai atas Hak Milik atau
dengan hak atas tanah Hak Pakai di atas HPL.
b. Perlu revisi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
DAFTAR
BACAAN
1)
Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum
Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012,
2)
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
3)
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Rumah
Susun
4)
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah
5)
Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
6)
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Yogyakarta, 24 Nopember 2016
Tjahjo Arianto
[1]
Dosen Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional; Dosen Magister Teknik Geodesi/Geomatika Universitas
Gadjah Mada; Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta; mantan
Kasi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kab. Jember, Kab. Sidoarjo, Jakarta Timur
tahun 1989 – 1999; Kasi Tata Pendaftaran Tanah BPN Pusat tahun 1999 – 2001;
Kepala Kantor Pertanahan Kab. Jember, Kabupaten Gresik, Surabaya Timur tahun
2001 – 2009; Kepala Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN Provinsi Jawa
Timur Tahun 2008 – 2010.
[2]
Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum
Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta 2012, halaman 16-17.
[3]
Pemerintah di sini diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional
[4]
Menjadi tanah absente karena pemilik
tanah dianggap tidak mungkin menggunakan dan memanfaatkan tanah maka
hapuslah ha katas tanah tersebut.
[5]
Menjadi tanah terlantar, karena pemilik tanah terbukti tidak mampu memanfaatkan tanah.
[6]
Karena dianggap tidak mungkin memanfaatkan tanah pertanian.
[7]
Hak atas tanah hapus tetapi hapusnya ha katas tanah tersebut belum dicatat pada
Buku Tanah dan Sertipikatnya.
[8]
Pasal 41 ayat (1) UUPA.
[9]
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah
[10] Rumah
Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding
bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling (Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau
Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia).
[11]
Asas Pemisahan Horisontal.
[12]
Bahasa populernya Apartemen atau Strata
title
[13]
Pasal 17 huruf a dan huruf b.
Langganan:
Postingan (Atom)