KAJIAN
YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan
sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan
tanahnya. Undang-undang ini diharapankan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa
keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi
pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan
perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk
memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.
Apakah undang-undang
ini akan responsif atau represif ? Marilah kita kaji beberapa pasal-pasalnya..
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini: “Pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti
Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. memang indah
terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih indah lagi
menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan
berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan
keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena
asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10
undang-undang ini. Kalimat: “Ganti
kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.
Pasal 5
menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata
wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum
yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak
oleh pihak yang berhak.
Penilaian
besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah dilakukan bidang per bidang
tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya
memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam
keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih
rendah. Dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan
nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak
tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya akan naik, oleh karena itu nilai ganti
ruginya harus lebih rendah daripada
bidang tanah yang tergusur habis.
Diatur pada
Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah
terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas
bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan
sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah
penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas
tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal
ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah
muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selanjutnya
bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1)
Ganti
Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang
ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5).
2)
Pada saat
pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
a.
melakukan pelepasan hak; dan
b.
menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b merupakan satu-satunya
alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di
kemudian hari.
4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
bertanggung jawab atas
Kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang
diserahkan.
Pasal 41
ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak
harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya
bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari
hal ini mencerminkan Undang-Undang ini
represif. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan
dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19
ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19
UUPA
(1) Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.
pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal
19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal
ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di
Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih
dapat diganggu gugat.
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu
dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak
dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan
sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak
dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya
wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat
itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Pasal Pasal
43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada
saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian
Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak
Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari
pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya
undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa
yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan
angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini sendiri.