tag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post8274572695485161752..comments2024-02-06T11:23:01.776-08:00Comments on HUKUM PERTANAHAN & SURVEI KADASTRAL: KAJIKAJIAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012TJAHJO ARIANTOhttp://www.blogger.com/profile/16628768106625594468noreply@blogger.comBlogger57125tag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-60869147553055542722018-10-18T00:11:01.338-07:002018-10-18T00:11:01.338-07:00Di depan rumah saya sedang dilaksanakan proyek pel...Di depan rumah saya sedang dilaksanakan proyek pelebaran jalan selebar 4 meter kiri dan kanan bahu jalan....teras dan pagar saya kena..apakah saya berhak untuk mendapat ganti rugi..?Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/16650222589234714493noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-475416877835515232017-11-20T23:51:23.044-08:002017-11-20T23:51:23.044-08:00Maaf ingin bertanya untuk perbedaan kajian pembeba...Maaf ingin bertanya untuk perbedaan kajian pembebasan tanah dengan kajian penilaian tanah oleh kjpp itu beda apa sama aja ya... terimakasihAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/09219859865112322555noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-6912132683802874002017-04-26T15:36:42.227-07:002017-04-26T15:36:42.227-07:00kondisi "sisa yang tidak lagi dapat difungsik...kondisi "sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai<br />dengan peruntukan dan penggunaannya" sbgmn dimaksud pada Pasal 35 UU 2/2012 dan Perpres 71/2012 tidak jelas..... Di lapangan sulit aplikasinya, diperlukan adanya kesepakatan2 dalam hal rincian teknisnya.... Hal ini terjadi pada kegiatan-kegiatan pembebasan lahan untuk jalan )(arteri dan tol) khususnya pada bidang-bidang sisa tanah luas dsan tidak memiliki aksesSatriahttps://www.blogger.com/profile/12215903352536320384noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-58386363779534196272017-04-03T09:20:03.086-07:002017-04-03T09:20:03.086-07:00Saya sependapat dengan Bapak. Presiden Joko Widodo...Saya sependapat dengan Bapak. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dapat dilihat bahwa revisi dilakukan berulang kali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Salah satu alasan revisi adalah dalam rangka percepatan dan efektivitas penyelenggaraan tanah bagi pembangunan di Indonesia untuk kepentingan umum. Dalam Perpres ini, sejumlah tahapan dalam pengadaan tanah dipangkas. Saya berharap agar dengan berlakunya Perpres ini dapat memberikan keadilan bagi masyarakat dan memberikan kesejahteraan yang merata dimana hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.<br /><br />Nama : Diah Retno Wulan<br />NIM : 15242880<br />Kelas : A<br />D.IV Semester IV<br />Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14636183220372586890noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-74445462473484657692016-09-22T23:19:25.255-07:002016-09-22T23:19:25.255-07:00Mohon pencerahan,
Apakah ada ketentuan atau aturan...Mohon pencerahan,<br />Apakah ada ketentuan atau aturan bahwa pengadaan tanah untuk pelebaran jalan tidak boleh dalam satu tahun angaran dengan pelaksanaan fisik pekerjaan pelebaran jalan.<br />terima kasihAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/15527120610975216085noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-76398228386090618562016-09-15T02:36:29.121-07:002016-09-15T02:36:29.121-07:00Mohon ijin bertanya pak...
Seandainya saya pny t...Mohon ijin bertanya pak... <br /><br />Seandainya saya pny tanah / lahan kosong dan ingin saya jual, akan tetapi ditengah tanah milik saya itu ada makam milik warga yg statusnya masih letter c / blm bersertifikat. <br />Saya berusaha mendekati warga, sesepuh dan perangkat desa untuk proses memindahkan makam ketempat baru yg tidak jauh dari lokasi awal. Untuk biaya pindah makam saya yg tanggung dan saya juga memberikan kompensasi kepada ahli waris makam sebagai tanda tali asih. Jika ada 1 atau 2 ahli waris yg tidak berkenan pindah dan meminta uang yg tidak sewajarnya, bagaimana itu hukumnya. Pdhl tanah itu mau saya jual dan akan dibeli oleh perusahaan untuk dibangun pabrikAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/12261541539600324357noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-78502189368062831152014-08-13T05:13:05.020-07:002014-08-13T05:13:05.020-07:00ASPEK KEADILAN DARI HUKUM??
Maaf saya menulis di ...ASPEK KEADILAN DARI HUKUM??<br /><br />Maaf saya menulis di ruang ini karena pada baris komentar paling bawah selalu gagal untuk masuk. Mudah-mudahan ada saudara yang membaca, mengetahui, dan bisa memberi saran.<br /><br />Orang tua kami menempati tanah pinggir sungai di kota Bandung pada tahun 1953 ketika peraturan UUPA belum lahir, dan walikota yang sekarang berkuasa pun belum lahir. Pada saat itu, sebagian orang Belanda masih mengisi gedung dan tanah di pinggir2 jalan sebelah Utara alun-alun. Mereka pulang ke negerinya sekitar tahun 60-an, dan kemudian gedung itu diisi oleh para pejabat yang tentunya/mestinya adalah sebagai rumah dinas, alias milik negara. Namun akhir2 ini gedung-gedung ini malah lebih banyak dihuni oleh warga negara keturunan (???)<br />Kini walikota yang berkuasa, karena visi arsitekturalnya ingin menggunakan tempat tinggal kami untuk membuat sebuah taman (dgn tema ecodistrik).<br /><br />Adilkah secara hukum kami diusir dari tempat tinggal kami, YANG PADA SAAT YANG BERSAMAAN JUGA TEMPAT MATA PENCAHARIAN KAMI, hanya sekedar untuk membuat taman???, sementara warga keturunan yg menempati rumah2 dinas dipinggir jalan bebas menikmati fasilitas yg lebih <br />baik. Apakah karena kami warga kelas bawah (mereka sebut kumuh), dari bangsa pribumi, tidak memiliki hak kebebasan yang sama? Tidak boleh mudah mencari makan? Bukankah pembangunan mestinya meningkatkan kesejahteraan semua rakyat, bukannya sebagian sejahtera sedang yang lainnya boleh dikorbankan?<br /><br />Jika dipandang dari sisi penghijauan, kampung kami sudah diapit oleh jalan-jalan raya yang banyak pohonnya, sedangkan di daerah lain (tengah, Selatan, dll) di kota kami malah lebih jauh lebih gersang. Hanya karena visi keindahan dan membuat taman, patutkah kami digusur? <br /><br />Apakah Kebutuhan hiburan dan keindahan lebih utama dibanding tempat berlindung dan tempat penghidupan?? Penggantian dengan rumah yang sebanding tidak akan memberikan keadilan karena tidak mudah bagi kami untuk mendapat pencaharian di tempat yang baru!<br /><br />Semoga ada yang punya hati dan empati untuk menolong kami dari sisi keadilan. Karena bagi kami ini bukan pembangunan melaikan ambisi dan visi yang keliru.<br /><br />Terima kasih dan SalamAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/04853201661841320809noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-2237208706895469942014-08-13T04:56:52.534-07:002014-08-13T04:56:52.534-07:00ASPEK KEADILAN DARI HUKUM??
Maaf saya menulis di ...ASPEK KEADILAN DARI HUKUM??<br /><br />Maaf saya menulis di ruang ini karena pada baris komentar paling bawah selalu gagal untuk <br /><br />masuk. Mudah-mudahan ada saudara yang membaca, mengetahui, dan bisa memberi saran.<br /><br />Orang tua kami menempati tanah pinggir sungai di kota Bandung pada tahun 1953 ketika <br /><br />peraturan UUPA belum lahir, dan walikota yang sekarang berkuasa pun belum lahir. Pada saat <br /><br />itu, sebagian orang Belanda masih mengisi gedung dan tanah di pinggir2 jalan sebelah Utara <br /><br />alun-alun. Mereka pulang ke negerinya sekitar tahun 60-an, dan gedung itu diisi oleh para <br /><br />pejabat yang tentunya/mestinya adalah sebagai rumah dinas, alias milik negara. Namun akhir2 <br /><br />ini gedung-gedung ini malah lebih banyak dihuni oleh warga negara keturunan (???)<br />Kini walikota yang berkuasa, karena visi arsitekturalnya ingin menggunakan tempat tinggal <br /><br />kami untuk membuat sebuah taman (dgn tema ecodistrik).<br /><br />Adilkah secara hukum kami diusir dari tempat tinggal kami, YANG PADA SAAT YANG BERSAMAAN <br /><br />JUGA TEMPAT MATA PENCAHARIAN KAMI, hanya sekedar untuk membuat taman???, sementara warga <br /><br />keturunan yg menempati rumah2 dinas dipinggir jalan bebas menikmati fasilitas yg lebih <br /><br />baik. Apakah karena kami warga kelas bawah (mereka sebut kumuh), dari bangsa pribumi, tidak <br /><br />memiliki hak kebebasan yang sama? Dari sisi keadilan? Dari sisi hak asasi manusia?<br /><br />Jika dipandang dari sisi penghijauan, kampung kami sudah diapit oleh jalan-jalan raya yang <br /><br />banyak pohonnya, sedangkan di daerah lain (tengah, Selatan, dll) di kota kami malah lebih <br /><br />jauh lebih gersang. Hanya karena visi keindahan dan membuat taman, patutkah kami digusur? <br /><br />Apakah Kebutuhan hiburan dan keindahan lebih utama dibanding tempat berlindung dan tempat <br /><br />penghidupan?? Penggantian dengan rumah yang sebanding tidak akan memberikan keadilan karena <br /><br />tidak mudah bagi kami untuk mendapat pencaharian di tempat yang baru!<br /><br />Semoga ada yang punya hati dan empati untuk menolong kami dari sisi keadilan.<br /><br />Terima kasih dan Salam<br />furqon.istiqama@gmail.comAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/04853201661841320809noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-2522806755627911342012-12-10T17:41:05.936-08:002012-12-10T17:41:05.936-08:00Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat pent...Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat penting bagi pemerintah dan juga masyarakat. Tanpa kebijakan tersebut, banyak fasilitas public yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan dengan biaya yang reasonable . Bagi pemerintah, UU No. 2/2012 memberikan kepastian hukum untuk memperoleh tanah-tanah individu dan masyarakat yang akan dipergunakan untuk proyek-proyek kepentingan umum yang dijabarkan ke dalam 18 jenis kegiatan (Pasal 10). Sementara itu masyarakat yang terkena dampak pembangunan untuk kepentingan umum secara hukum akan dilindungi dalam bentuk pemberian ganti kerugian atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya (Pasal 33). <br /><br />Akan tetapi UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dinilai mengusung semangat penggusuran. Alasannya, undang-undang ini bertolak belakang dengan semangat pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat sebagaimana diamanatkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.<br /><br />Pengujian sejumlah pasal dalam UU Pengadaan Tanah ini dimohonkan oleh Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).<br /><br />Mereka meminta MK membatalkan Pasal 2 huruf g, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU Pengadaan Tanah karena bertentangan dengan UUD 1945. Kedelapan pasal itu dinilai melegalkan perampasan tanah dengan dalih kepentingan umum. Faktanya, lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun usaha perkebunan, pertambangan, cagar alam, pariwisata, jalan tol, dan pelabuhan yang bukan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.<br /><br />Menurut pemohon pembangunan jenis usaha itu tidak tepat dikategorikan sebagai kepentingan umum karena UU Pengadaan Tanah tidak ditemukan definisi kepentingan umum dan kepentingan pembangunan. Padahal, Pasal 9 UU tersebut menyebutkan pengadaan tanah harus memperhatikan atau menyeimbangkan kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat atau umum.<br /><br />Semoga putusan MK atas Judicial Review UU No 2/2012 berpihak pada kepentingan rakyat.<br /><br />Andhi Mahligai<br />MIH Universitas Atma Jaya Yogyakarta<br />125201784/PS/MIHAndhi BJhttps://www.blogger.com/profile/01960146227467786919noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-22048606912454356262012-12-08T23:11:59.211-08:002012-12-08T23:11:59.211-08:00mohon ijin berpendapat pak..
Dalam Undang-undang ...mohon ijin berpendapat pak..<br /><br />Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, jelas banyak mengkaji dan menyebutkan ketentuan-ketentuan kepentingan umum. Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2012 ini, disusun sebagai landasan hukum perolehan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang dapat memberikan keseimbangan antara kepentingan pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum. Dapat diuraikan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan ketersediaan tanah, demikian bahwa tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum pada umumnya sudah dikuasai oleh orang perorangan, badan hukum, atau masyarkat hukum adat. Dengannya diperlukan landasan hukum yang dapat digunakan pemerintah untuk memperoleh tanah bagi kepentingan umum. Belajar dari pengalaman, bahwa hambatan yang terbesar dan utama dari kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum adalah masalah pembebasan tanah. Bahwa :<br /><br />Peraturan yang lama (Perpres No. 36 Tahun 2005 jo No. 65 Tahun 2006 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007) dinilai belum efektif ketika dilaksanakan di lapangan sehingga pihak yang memerlukan tanah mengalami hambatan dalam perolehan tanahnya.<br /><br />Pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum, enggan melepaskan tanahnya karena khawatir bahwa ganti kerugian yang ditawarkan tidak memberikan jaminan akan kepastian keberlangsungan kehidupannya.<br /><br />Sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Nasional, perolehan tanah untuk kepentingan umum dibedakan menjadi 2 cara:<br /><br />1. Bila pihak pemegang hak atas tanah bersedia melepaskan tanahnya secara sukarela dengan menerima ganti kerugian atas dasar musyawarah, maka cara yang ditempuh adalah “Pengadaan Tanah”.<br /><br />2. Bila jalan musyawarah tidak mencapai hasil yang diharapkan, Pemerintah, sesuai dengan kewenangannya, dapat mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan dengan cara pencabutan aha atas tanah disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.<br /><br />Sebagai landasan hukumnya terhadap pengadaan tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 (sebelumnya Keppres No.55 Tahun 1993 jo Permenag No. 1 Tahun 1994, Perpres No. 36 Tahun 2005 jo No.65 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007. Sedangkan terhadap pencabutan hak atas tanah diatur dalm Undang-undang No. 20 Tahun 1961 Jo PP No. 39 Tahun 1973, dalam Pasal 18 UUPA bahwa : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak –dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.<br /><br />Jika dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengadaan tanah sebelum UU No.2 Tahun 2012 yakni Keppres No. 55 Tahun 1993 (“Keppre”) dan Perpres No.36 Tahun 2005 jo. No 65 Tahun 2006 (“Perpres”), konsepsi yang membedakan antara pengadaan tanah dan pencabutan hak ats tanah diterapkan sebagaimana mestinya, UU No. 2 Tahun 2012 meninggalkan konsepsi ini dengan tidak menyinggung sama sekali acara pencabutan hak atas tanah ketika musyawarah untuk kesepakatan lokasi pembangunan maupun pemberian ganti kerugian menemui kegagalan sedangkan lokasi tidak dapat dipindahkan. Semua keberatan/penolakan pemegang hak atas tanah diselesaikan melalui lembaga peradilan dengan sama sekali menafikan acara pencabutan hak atas tanah.<br /><br />Nuur Annisa (09182435/Manajemen/12)FathiAQoehttps://www.blogger.com/profile/17423443917461652610noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-26540726140458748882012-12-06T10:18:58.436-08:002012-12-06T10:18:58.436-08:00Nama : Adrianus Jerabu
NIM : 115201583
MIH Atma ...Nama : Adrianus Jerabu<br />NIM : 115201583 <br />MIH Atma Jaya<br /><br />salam selamat sejahtera...<br />Perkenankan saya untuk memberikan komentar terkait dengan tulisan bapak.<br /><br /> Sesuai dengan penamaan terhadap UU tersebut di atas, sudah selayaknya dapat dipahami bahwa pembangunan merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dipungkiri dalam kondisi negara berkembang seperti indonesia. Oleh karena itu harus disadari pula bahwa dengan memasukkan konsep pembangunan untuk menjadi dasar dan acuan dalam proses pembentukkan hukum, maka pembentuk hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus berpedoman kepada pilihan nilai dan kepentingan tertentu yang ada dalam kebijakan pembagunan tersebut, disamping menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum.<br /> Apabila ditinjau dari beberapa ketentuan dalam beberapa pasal UU tersebut di atas memang terkesan represif. Dengan adanya kesan represif dalam UU tersebut, mencoba untuk menunjukan bahwa UU tersebut bukan merupakan macan ompong dalam mengejar ketertinggalan, apalagi terkait dengan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi pembanguan untuk kepentingan umum menyiratkan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu sangat tidak diterima apabila satu atau beberapa orang dari sekian bayak orang tidak menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum yang lebih luas.<br /> Dengan lahirnya UU No.2 Tahun 2012 tersebut sangat dirasakan adanya nafas baru dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sebelumnya yang dirasakan sangat represif dan sangat menonjolkan ketidak adilan yang luar biasa. Nafas baru tersebut dapat dilihat dengan mengedepankan musyawarah dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian, karena inilah yang merupakan titik persoalan yang paling mendasar dalam setiap peroses pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Hal tersebut juga didukung dengan keleluasaan yang begitu besar bagi pemilik tanah untuk menggugat dalam mencapai keputusan final bahkan sampai kepada keputusan Makamah Agung yang merupakan putusan tertinggi.<br /> Saya sangat setuju dengan pendapat Bapak mengenai “Judicial Review” Pasal 41 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Karena menurut saya, isi pasal tersebut merupakan pembohongan terhadap publik, yang mana dengan mendalilkan sesuatu yang berlebihan dan seolah-olah dengan membubuhkan kalimat “tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari” maka masyarakat berbondong-bondong untuk menyerahkan tanahnya bagi pembangunan untuk kepentingan umum tanpa memikirkan kontribusi buat dirinya sendiri.<br /> Oleh karena itu diperlukan adanya kejelasan skenario atau adanya keharusan untuk menghapus atau menghilangkan kalimat tersebut. Mengingat pengadaan tanah untuk kepentingan umum berjalan secara tertib kalau didukung dengan adanya kejelasan skenario prilaku yang harus diikuti oleh masyarakat.<br />Sekian dan terima kasihAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/02732532983479179068noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-26630292280781265322012-12-05T03:14:15.521-08:002012-12-05T03:14:15.521-08:00Dian Natalia S
MIH UAJY
Salam hormat, perkenankan...Dian Natalia S<br />MIH UAJY <br />Salam hormat, perkenankan saya untuk menyampaikan pendapat saya terkait dengan tulisan Bapak<br />Di dalam UU 2/2012 masih ditemukan sejumlah ketentuan pasal yang menegasikan legal spirit dari UU itu sendiri untuk meningkatkan jaminan keadilan bagi pemegang HAT. . <br />Ketentuan Pasal 5 yang menyatakan bahwa pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Pasal ini perlu dikaji secara kritis. Pasal ini menegaskan bahwa pemberian ganti kerugian atau putusan pengadilan melahirkan kewajiban pemegang hak atas tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya. Jika pemberian ganti kerugian tersebut sesuai dengan kesepakatan pemegang hak, sudah seharusnya pemegang hak sebagai wujud kontraprestasi melepaskan hak atas tanahnya. Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah, dalam hal kesepakatan tidak tercapai, apakah ketentuan Pasal 5 tetap diberlakukan? Dalam hal pemberian ganti kerugian dilakukan melalui penitipan ke pengadilan negeri berdasarkan putusan PN, apakah ketentuan pasal 5 ini harus diberlakukan? Apabila pasal 5 ditafsirkan secara gramatikal, maka setiap pemberian ganti kerugian bahkan tanpa dasar kesepakatan sekalipun yang dilakukan melalui penitipan ganti kerugian akan menimbulkan kewajiban bagi pemegang hak untuk melepaskan haknya. Ketentuan Pasal 5 ini bertentangan dengan asas kesepakatan dalam Pasal 2 UU tersebut. Bukankah dasar dari pengadaan tanah adalah kesepakatan dan kesukarelaan? Kewajiban hukum untuk melepaskan tanah tidak timbul karena adanya pemberian ganti kerugian, melainkan pada kesepakatan para pihak dimana menurut ketentuan Pasal 1838 kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. atas dasar adanya kesepakatan pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya dengan sejumlah ganti kerugian yang telah disepakatinyalah yang menimbulkan kewajiban hukum pemegang hak untuk melepaskan tanahnya. <br />Hakikat pengadaan tanah harus dipahami secara mendalam bahwa pengadaan tanah merupakan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan kepentingan umum secara sukarela berdasarkan kesepakatan yang disertai pemberian ganti rugi yang adil. Pengadaan tanah tidak dapat dilakukan secara paksa seperti halnya pencabutan hak. Dalam hal pelepasan hak atas tanah secara sukarela dalam pengadaan tanah tidak berhasil dicapai, maka upaya yang harus ditempuh adalah pencabutan hak. Namun UU nomor 2 Tahun 2012 ini samasekali tidak mengacu kepada ketentuan UU Nomor 20 tahun 1961. Maria SW sumardjono mengatakan bahwa UU ini telah menabrak sistem. UU ini menyerahkan mekanisme penyelesaian ketidaksepakatan mengenai pelepasan hak dan genti kerugian kepada pengadilan dan konsinyasi ganti rugi. Padahal dalam sistem hukum tanah nasional telah ditetapkan bahwa apabila pengadaan tanah sebagai upaya pendahuluan tidak berhasil dicapai, pemerintah diberi kewenangan untuk menempuh upaya pencabutan hak. Namun dalam memberlakukan lembaga pencabutan hak, pemerintah menghadapi sejumlah permasalahan dimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk kepentingan umum tersebut tidak memenuhi kriteria dilaksanakannya pencabutan hak. Dalam hal yang demikian, maka sudah saatnya pemerintah memperbaharui UU pencabutan hak. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrham bahwa pengadaan tanah merupakan jembatan penghubungan pencabutan hak, oleh karena itu kriteria kepentingan umum di dalam pengadaan tanah dan pencabutan hak haruslah sebangun. Perbedaan kriteria ini akan menghambat pemerintah melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Akan lebih baik jika kedepannya pemerintah menggabungkan pengaturan pengadaan tanah dan pencabutan hak dalam satu perundang-undangan untuk meningkatkan konsistensi dan keharmonisan pengaturan dinatara kedua lembaga tersebut.<br />Sekian. Terima kasih.Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14432567972291007615noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-10953981826063734192012-11-18T19:21:18.181-08:002012-11-18T19:21:18.181-08:00assalammualaikum pak...
pak mau tanya ni.. misaln...assalammualaikum pak...<br /><br />pak mau tanya ni.. misalnya saya punya tanah tapi itu tanah garapan dri turun temurun, terus ada yang mengambil alih tanah itu dengan memalsukan sertifikat ,, dan di kemudian hari sya menggugatnya tapi dia malah menuntut balik dan menanyakan sertifikat.. sedangkan itu tanah saya secara turun temurun,,, gmana ni pak ???? ..trimakasih.. wassalamm<br /><br />NAMA: MARTHIN VABIOLA WATORA<br />NIM : 12/D1/4233<br />KELAS: FAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-83403671407703570192012-11-09T05:08:25.166-08:002012-11-09T05:08:25.166-08:00mohon ijin berkomentar Pak...
Menurut pendapat say...mohon ijin berkomentar Pak...<br />Menurut pendapat saya substansi Undang-Undang No. 2/2012 (UUPT)memang masih mengandung usur dualisme hukum, dimana sebagian pasalnya mengacu pada hukum responsif dan sebagian pasal lagi mengacu pada hukum represif. Hal ini tentunya tidak terlepas dari historis penyusunan undang-undang ini pada era pasca reformasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum serta penghormatan terhadap HAM. Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai konflik kepentingan juga mewarnai penyusunan UUPT ini. Dominasi para pemegang otoritas sangat kental terlihat dari pasal-pasal UUPT yang masih bersifat represif. kiranya dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua unsur- unsur yang terkait guna menciptakan hukum yang responsif agar dapat sejalan dengan perubahan sosial ynag semakin demokratis di tengah masyarakat Indonesia.<br />(machdalena_putri_09182431_smt.VII/M)machdalena_putrihttps://www.blogger.com/profile/03715189055524221614noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-68930899745069166472012-10-30T03:05:20.436-07:002012-10-30T03:05:20.436-07:00Bahwa dalam UU No.2 Tahun 2012 mengatur tentang pe...Bahwa dalam UU No.2 Tahun 2012 mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka bagaimanakah nasib pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum?<br />Karena UU No. 2 Tahun 2012 tidak menyebutkan dalam rumusan pasal-pasalnya mengenai pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum sebagaimana adanya dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006. <br /> (Tri Sulistyo Rini_09182469_Smt.VII/M) <br />Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/04921617487806271852noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-6401391758932090262012-10-26T04:03:21.761-07:002012-10-26T04:03:21.761-07:00Asslm. Ikut gabung pak. Mungkin kata-kata yang ber...Asslm. Ikut gabung pak. Mungkin kata-kata yang berbunyi "tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari" Pada Pasal 41 ayat 3 UU No. 2 Tahun 2012 itu bermaksud tanda bukti hak yang sudah diserahkan tidak dapan diminta kembali atau dipermasalahkan lagi penyerahannya dikemudian hari pak ditambah juga pada ayat 2, tanda bukti hak itu merupakan satu-satunya tanda bukti hak yang dipunyainya, sehingga jika ia memiliki tanda bukti hak yang lain atas tanah yang sama, maka haknya tidak dapat dituntut kembali untuk memperoleh ganti rugi. Mohon pencerahannya pak...Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/17449733327651044679noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-45273684661453454852012-10-26T03:52:43.945-07:002012-10-26T03:52:43.945-07:00Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/17449733327651044679noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-5422129580250389392012-10-25T11:33:16.152-07:002012-10-25T11:33:16.152-07:00Mohon ijin untuk mengomentari pak,
Saya sangat set...Mohon ijin untuk mengomentari pak,<br />Saya sangat setuju dengan pemikiran bapak mengenai ada beberapa pasal yang represif dari UU ini, walaupun memang menurut saya sebenarnya UU ini bertujuan untuk mengatasi adanya masalah mengenai kurangnya ketersediaan tanah dalam keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Sehingga terhambatnya pembangunan karena ketidaksediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya dapat diatasi pemerintah. Dan mengenai pasal 41 ayat (3) tersebut yang dikatakan represif. Menurut saya, Indonesia menganut sistem pendaftaran tanah negatif bertendensi positif, yang artinya walaupun bukti hak dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat, Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak tersebut yang bisa menjadikan permasalahan apabila muncul pemilik tanah yang dikategorikan sebagai pemilik tanah yang sebenarnya. Sehingga demikian kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari” sungguh sangat tidak relevan dengan kenyataan bahwa Indonesia menganut sistem pendaftaran tanah negatif bertendensi positif. <br />Terima kasih.<br />NI PUTU ARIE SULASTRI (NIM.09182461/P/DIV SEMESTER VII)<br />astridhttps://www.blogger.com/profile/13795572118279587921noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-11586745287263229762012-10-24T21:15:03.504-07:002012-10-24T21:15:03.504-07:00menurut pendapat saya :
1) dilihat dr salah satu a...menurut pendapat saya :<br />1) dilihat dr salah satu asas dalam UU ini adalah "asas kesepakatan", dimana seharusnya diberlakukan dr awal penetapan lokasi dimana harus memperhatikan kesepakatan yg ada di masyarakat apakah setuju atau tdk dilakukan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, karena selama ini hanya dalam hal kesepakatan besarnya ganti rugi saja yang dititikberatkan<br />2) pasal 5 menegaskan bahwa UU ini bersifat memaksa atau represif, ini sangat tidak memperhatikan kepentingan masyarakat pemegang HAT yang melekat pd tanah yg selama ini sangat berguna. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dikemudian hari adalah bagaimana mengkonsep suatu peraturan perundang undangan yg memperhatikan aspek sosial yg ada dimasyarakat pada saat itu beserta dampaknya <br /><br /><br />(TRI DINI SULISTIANTI / M / 09182468 )dinifummihttps://www.blogger.com/profile/02137215786326358169noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-5564144085583620842012-10-24T16:01:26.697-07:002012-10-24T16:01:26.697-07:00Mohon izin menambahkan pendapat Pak, setelah memba...Mohon izin menambahkan pendapat Pak, setelah membaca UU Nomor 2 Tahun 2012, saya setuju dengan pendapat Bapak bahwa sebagian pasal pada UU ini bersifat responsif dan sebagian lagi bersifat represif. Hal ini dilihat dari pasal 1 ayat (2) dan ayat (8) bahwa kegiatan pengadaan tanah adalah kegiatan mengadakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak melalui proses konsultasi publik atau dialog dan musyawarah yang sudah mencapai kesepahaman dan kesepakatan. Namun menurut saya hal ini di dasari dengan paksaan, bukan kesepakatan. Mengapa?? Di sebutkan pada pasal 39 yang berbunyi " dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besar ganti kerugian tetapi tidak mengajukan keberatan(dalam syarat waktu yang sudah ditentukan dalam pasal sebelumnya) maka karena hukum pihak tersebut "dianggap" menerima bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dimaksud. Disini kata-kata "dianggap" menurut saya ada celah unsur pemaksaan dan bukan atas dasar kesepakatan dimana sudah disebutkan di pasal pertama. Syarat waktu mengajukan keberatan hanya sebagai "tameng" untuk menyembunyikan hal tersebut. Demikian sedikit pendapat dari saya Pak, terimakasih. (Dian Agustia, D IV smt 7 jur.Perpetaan, 09182423)HantaranKitaa_Bengkuluhttps://www.blogger.com/profile/15680619728527946750noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-82398568270916918482012-10-24T09:02:20.782-07:002012-10-24T09:02:20.782-07:00Kelemahan substansial pada substansi undang-undang...Kelemahan substansial pada substansi undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah jelas, alih-alih mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan dan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum justru kepentingan profit justru bersembunyi tegasnya berlindung, di balik kepentingan umum. Dengan demikian nyata sudah diperlukan adanya sikap kritik dan penolakan atas kehadiran undang-undang yang bakal menciptakan ketidakadilan dan resistensi ini. Inkonsistensi undang-undang pengadaan tanah sesungguhnya merupakan langkah mundur pengaturan karena kembali pada pengaturan pengambilalihan tanah menurut Peraturan Menteri dalam Negeri pada era Orde Baru. Disamping itu, diprediksi implikasi hukum dari pengundangan undang-undang akan semakin menumbuhkembangkan kasus agraria.<br />(Budi Febriana 09182450 smt VII/M)budayanahttps://www.blogger.com/profile/02530210794785626637noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-69081946727157005022012-10-24T08:14:03.839-07:002012-10-24T08:14:03.839-07:00Assalamualaikum...
Ijin berkomentar Pak, setelah m...Assalamualaikum...<br />Ijin berkomentar Pak, setelah menbaca artikel Bapak mengenai UU No.13/Tahun 2012 ttg Pengadaan Tanah, memang UU tersebut pada akhirnya represif.Karena mungkin masih dipentingkan untuk kalangan tertentu saja.Seperti pada pasal 9 ayat 1 "Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat".Yang dimaksud dalam keseimbangan ini saja, masih menimbulkan perbedaan pendapat.Contoh riilnya bagaimana jika pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, yang pada kenyataannya tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya.Sehingga menurut saya sebaiknya dalam pembuatan UU atau peraturan harusnya melibatkan masyarakat umum, agar terjadi kesinkronan / kesesuaian dengan keinginan masyarakat.<br />Wassalamualaikum....<br />SaRi PusParini,09182464,Smtr VII,ManajemenAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/05275658173338381568noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-7636493731394996392012-10-24T07:05:11.198-07:002012-10-24T07:05:11.198-07:00assalaimualaikum pak,
sebenarnya saya setuju denga...assalaimualaikum pak,<br />sebenarnya saya setuju dengan pembentukkan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 karena menurut pendapat saya bahwa target dan tujuan dari Undang-Undang ini sangat jelas dan terarah. sayangnya, seperti Undang-Undang sebelumnya, pelaksanaan yang diharapkan dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya terhadap target itu sendiri sepertinya masih jauh dari yang diharapkan. beberapa kasus yang terjadi selalu saja bermasalah dengan pembayaran ganti rugi. bahkan beberapa diantaranya telah ditutup kasusnya atau pembayarannya berhenti ditengah jalan. hal tersebut tentu mempersulit si pemilik tanah. saya berharap pembentukkan Undang-Undang seperti halnya ini dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaanya serta hasilnya dapat menguntungkan berbagai pihak. sayang sekali jika Undang-Undang yang tujuannya untuk mensejahterakan rakyat justru tidak memberikan keadilan sama sekali untuk rakyat. sekian pendapat saya.<br /><br />(LOVIANA JHONNATI)<br /> NIM.12/D1/4277<br /> KELAS : G<br /> NO.ABSEN :23Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/03215194822994552207noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-54322444386282990342012-10-23T17:23:33.367-07:002012-10-23T17:23:33.367-07:00Mohon ijin,
Menurut saya UU ini pada awalnya respo...Mohon ijin,<br />Menurut saya UU ini pada awalnya responsif dengan dalih pegadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya dilakukan dengan musyawarah namun pada kenyataannya pada pasal-pasal berikutnya bersifat represif seperti tercantum pada pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu dalam pasal 42 dijelaskan bahwa pemberian ganti rugi atas obyek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak. Apabila pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti rugi berdasarkan musyawarah atau putusan pengadilan ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Hal ini mencrminkan ada unsur paksaan dari pihak yang berkepentingan sehingga pihak yang berhak mau melepaskan tanahnya.<br />Aspek lain yang sangat penting adalah kompensasi terhadap kerugian-kerugian pemilik tanah akibat kehilangan tanah dan aspek-aspek ekonomi dan non ekonomi terkait tanah yang ikut hilang akibat pengambilalihan tanah oleh pemerintah tidak dijelaskan dalam UU ini. Seharusnya pemberian ganti kerugian harus benar-benar mengutamakan asas keadilan dalam pelaksanaanya.<br /><br />(Ririn Yuni Astuti 09182463 smt VII/M)<br />Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14741772023233286124noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8920875947531736113.post-11675531094770771462012-10-23T17:17:13.403-07:002012-10-23T17:17:13.403-07:00Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14741772023233286124noreply@blogger.com