Sabtu, 09 Juni 2012

KAJIKAJIAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012


KAJIAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini diharapankan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.
 Apakah undang-undang ini akan responsif atau represif ? Marilah kita kaji beberapa pasal-pasalnya..
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka  2 undang-undang ini: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak  dalam proses pengadaan tanah”. memang indah terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih indah lagi menyatakan  bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan  berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat:  “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah dilakukan bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya  akan naik, oleh karena itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada  bidang tanah yang tergusur habis.
Diatur pada Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1)    Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam  musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5).
2)    Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
a. melakukan pelepasan hak; dan
b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
3)   Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-satunya
      alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di
       kemudian  hari.
4)    Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas
       Kebenaran  dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
        diserahkan.
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini  mencerminkan Undang-Undang ini represif.  Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19 UUPA
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak  sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah  saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat.
 Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat  “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan:  Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
 Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.  Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini sendiri.